Selasa, 21 Oktober 2014



PANGLIMA TENTARA PERTAMA DI INDONESIA
DIPILIH SECARA DEMOKRATIS





Pendahuluan
            Banyak orang berpandangan bahwa militer atau tentara tidak memiliki jiwa demokrasi. Pandangan ini muncul karena dalam kemiliteran dimanapun juga di dunia ini terdapat suatu sistem yang sudah baku yaitu sistem komando. Sistem komando ini sering diartikan suatu komunikasi satu arah dari atasan (komandan) kepada bawahan. Akan tetapi dalam sejarah kemiliteran di Indonesia justru terdapat hal unik yaitu pemilihan panglima pertamanya dilakukan secara demokratis. Disaat orang orang sipil Indonesia hingga sekarang masih sering memperdebatkan tentang demokrasi, justru pihak militer Indonesia (dalam hal ini adalah TKR) telah memberi contoh pemilihan yang demokratis dalam sejarah kemiliteran Indonesia.      
Demokrasi sering diartikan secara umum sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, demikian Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat) pernah menyebutkannya. Secara mudahnya demokrasi lebih sering dikaitkan dengan pemilihan umum yang terjadi pada insitusi sipil seperti presiden pada sebuah negara atau gubernur pada pemerintahan daerah atau kepala daerah lainnya.  Memang terasa agak aneh jika sistem demokrasi berupa pemilihan langsung muncul dalam institusi kemiliteran yang memiliki budaya sistem komando. Mungkin hal ini hanya terjadi di Indonesia dan mungkin juga hanya satu satunya didunia.

Pembentukan Tentara Pada Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak secara langsung Pemerintahan Indonesia membentuk tentara Indonesia.  Pada 22 Agustus 1945 PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) lebih memilih membentuk suatu badan Penolong Keluarga Korban Perang. Badan tersebut lebih terkenal dengan sebutan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Sebetulnya pada rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 dalam rapatnya sempat memutuskan untuk segera membentuk suatu tentara kebangsaan (Tjahaja, 21 Agustus 1945). Akan tetapi kemudian keputusan itu diubah pada rapat tanggal 22 Agustus 1945. Pada saat itu dalam rapat berkembang  suatu pendapat bahwa jika dibentuk tentara kebangsaan maka akan mengundang serangan dari sekutu maupun Jepang yang telah sepakat untuk mempertahankan status quo. Saat itu para anggota PPKI berpendapat bahwa kekuatan tentara kebangsaan yang akan dibentuk belum cukup untuk menghadapi gempuran sekutu maupun Jepang. Maka pilihan utamanya adalah melakukan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia saat itu. Pada rapat tanggal 22 Agustus 1945 tersebut PPKI memutuskan untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang telah disepakati untuk dibentuk (Tjahaja, 23 Agustus 1945). Dalam pidato pengumuman ketiga badan tersebut tanggal 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengatakan kepada mantan PETA dan Heiho  dan pemuda pemuda kelaskaran lainnya untuk bergabung dalam BKR dan siap siap dipanggil untuk menjadi prajurit tentara kebangsaan jika datang saatnya nanti (Soeara Asia, 24 Agustus 1945)
BKR atau Badan Keamanan Rakyat tersebut kemudian menjadi suatu wadah berkumpulnya para mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air, didirikan tanggal 3 Oktober 1943), Heiho yang telah dibubarkan oleh Jepang pada tanggal 19-20 Agustus 1945 (Nasution, 1970: 115) sehubungan dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. BKR kemudian berdiri di daerah-daerah karena gerakan spontan dari para mantan PETA dan Heiho yang ada didaerah dalam merespon pidato Soekarno tersebut dan menjadi badan-badan revolusi di daerah-daerah (Nasution, 1970: 115).
Pada 5 Oktober 1945 BKR diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Presiden Soekarno membentuk tentara untuk tujuan memperkuat perasaan keamanan umum (Fattah,2005: 46). Selain itu pembentukan tentara dengan nama keamanan rakyat ini dimaksudkan dapat menjadi sebuah pertanda bagi Sekutu maupun Jepang bahwa tentara yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia ini bukannya untuk menghadapi musuh yang datang atau menghadapi Sekutu maupun Jepang tetapi adalah lebih untuk masalah dalam negeri yaitu untuk keamanan rakyat belaka.
            Pada tanggal 6 Oktober 1945 telah dikeluarkan surat resmi berjudul Maklumat Pemerintah yang isinya mengangkat Soeprijadi seorang anggota PETA yang memimpin pemberontakan di Blitar sebagai Menteri Keamanan Rakyat yang berarti sekaligus sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat. Menurut Nasution (Nasution 1970) karena Soeprijadi tidak pernah muncul atau datang ke Jakarta, maka pada tanggal 14 Oktober 1945 untuk melengkapi jabatan dalam Kementrian Keamanan Rakyat diangkatlah sebagai berikut:
Menteri ad interim      : Moehamad Soeljoadikoesoemo
Pemimpin Tertinggi     : Soeprijadi
Kepala Staf  Umum    : Mayor Oerip Soemohardjo 
Untuk menjalankan fungsi Menteri Keamanan yang kosong karena ketidakhadiran Soeprijadi diangkatlah Moehamad Soeljoadikoesoemo mantan daidanco (Nasution 1970:208-239)
Kemudian Wakil Presiden Moehamad Hatta memanggil Oerip Soemohardjo  seorang pensiunan mayor KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang pensiun tahun 1938 untuk datang ke Jakarta. Kemudian Oerip Soemohardjo diangkat oleh Moehamad Hatta menjadi Kepala Staf Umum Tentara dengan pangkat letnan jendral (Notosusanto, 1991: 41) dan ditugaskan untuk membentuk tentara Indonesia (Nasution, 1970: 125). Mengapa Oerip yang dipanggil dan diberi tugas ? Nama Oerip Soemohardjo mencuat karena dia pernah membuat pernyataan “Aneh Negara zonder tentara” (Notosusanto, 1991: 40) pernyataan yang menyindir pemerintah tersebut malah membuat ia diperhatikan pemerintah. Apalagi Mohamad Hatta (Wakil Presiden) dan Soetan Sjahrir (yang nantinya diangkat sebagai Perdana Mentri atas saran Mohamad Hatta) adalah mahasiswa-mahasiswa lulusan Belanda yang sangat mengerti tentang mutu orang-orang lulusan Belanda. Sedangkan Oerip Soemohardjo adalah seorang pensiunan perwira KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) dengan pangkat mayor yang lulusan Breda sekolah kemiliteran di Belanda. Mereka berdua yaitu Hatta dan Sjahrir, sangat percaya pada perwira lulusan Breda di Belanda daripada mantan-mantan PETA (Pembela Tanah Air) atau Heiho yang tidak mengalami pendidikan kemiliteran secanggih pendidikan di Breda Belanda.  Selain itu, Hatta juga dapat masukan dari Didi Kartasasmita tentang siapa sebenarnya Oerip Soemohardjo ini (lihat Oerip Soemohardjo Letnan Jenderal TNI karya Rohmah Soemohardjo-Soebroto).
Akan tetapi Soeprijadi sejak ditetapkan sebagai panglima tentara tidak pernah muncul atau datang ke Jakarta. Akibatnya hal ini menimbulkan keresahan bagi para anggota TKR terutama yang berada di daerah daerah.
Selanjutnya sambil menunggu kehadiran Soeprijadi, untuk melengkapi ketentaraan di Indonesia Kementrian keamanan Rakyat atas kerjasama Oerip Soemohardjo dan Moehamad Soeljoadikoesoemo membentuk empat komandemen yaitu di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepada mereka panglima masing masing komandemen diberikan komando taktis baik atas kesatuan kesatuan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang regular maupun atas sekian banyaknya badan perjuangan yakni nama baru yang diberikan kepada berbagai organisasi kelasykaran. Kemudian batalyon-batalyon TKR dikelompokkan menjadi resimen dan divisi. Enam divisi terbentuk di Sumatra, tiga di Jawa Barat, empat di Jawa Tengah dan tiga di Jawa Timur (Sundhaussen, 1988: 14).
Dalam pembentukan komandemen, dilapangan Oerip Soemohardjo dibantu oleh pemuda bekas perwira KNIL yaitu Soerjadharma dan TB Simatoepang. Kemudian mereka memilih Yogyakarta sebagai kota dimana kedudukan Markas Tertinggi TKR (MT TKR) berada. Pada awalnya markas itu terletak di gedung yang sekarang menjadi Hotel Garuda di Yogyakarta lalu dipindahkan ke bangunan rumah yang sekarang menjadi Museum TNI AD Yogyakarta.
Pada awalnya Oerip Soemohardjo ini hanya akan membentuk empat divisi saja yaitu tiga di Jawa dan satu di Sumatra, akan tetapi karena pemuda yang mendaftar sebagai anggota TKR membludak melebihi yang direncanakan maka terjadilah pembentukan yang lebih banyak. Di Sumatra anggota TKR banyak berasal dari Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) dan Pemuda Indonesia (PI) sedangkan di Jawa banyak berasal dari PETA dan Heiho yang bergabung dalam BKR kemudian menjadi TKR  (Soeara Merdeka, 10 November 1945).
Kemudian ditetapkanlah para panglima komandemen tersebut oleh Oerip Soemohardjo dan Moehamad Soeljoadikoesoemo. Para panglima komandemen diatas adalah sebagai berikut: Komandemen I Jawa barat dipimpin oleh Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Jenderal Mayor Soeratman sedangkan Komandemen III Jawa Timur dipimpin oleh Jenderal Mayor Moehamad. Di Sumatra Komandemen dipimpin oleh Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo (Nasution, 1970: 208).

Rapat Tentara di Yogyakarta
            Pada saat berbarengan dengan pembentukan divisi-divisi dan komandemen-komandemen didaerah-daerah, pasukan sekutu telah mengadakan perlucutan senjata pada beberapa daerah yang didudukinya. Oleh karena itu para perwira TKR mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin mengisi jabatan Panglima Tentara dan Menteri Keamanan. Pada awalnya pemerintah tidak menanggapi desakan para perwira TKR tersebut, tetapi karena Oerip Soemohardjo sudah diberi mandat untuk membentuk tentara maka dia atas seizin pemerintah pusat berinisiatif untuk memanggil semua panglima divisi dan resimen TKR untuk sebuah rapat besar atau konferensi pada tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta setelah Jakarta diduduki oleh tentara Sekutu (Tjokropranolo 1992:64).    
Tepat pada tanggal 12 November 1945 diadakanlah rapat tentara di Gondokusuman Yogyakarta. Semua divisi diundang untuk datang ke rapat tentara di Yogyakarta tersebut. Konferensi tersebut dihadiri hampir semua komandan Divisi dan Resimen TKR. Juga hadir dalam rapat konferensi itu adalah Sri Sultan Hamengkoeboewono IX, Soenan Pakoeboewono XII dan Mangkoenegoro X. Utusan dari Sumatra yang hadir hanya seorang yaitu Kolonel Moehamad Noeh  (Tjokropranolo, 1992: 63).  
Sebetulnya dalam rapat tersebut Oerip Soemohardjo berharap mendapat mandat dari divisi-divisi yang hadir untuk menjadi panglima tertinggi TKR. Apalagi Mohamad Hatta sudah tampak mendukungnya. Ketika itu rapat dihadiri oleh para perwira senior dalam markas tertinggi TKR (MT TKR), panglima-panglima divisi dan komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa. Dari Pulau Sumatra tidak ada yang hadir karena sulitnya komunikasi dan jalan perhubungan dimasa awal kemerdekaan tersebut. Hanya seorang wakil dari Sumatra yaitu Moehamad Noeh. Begitu pula dari Surabaya tidak ada yang hadir karena ketika itu Surabaya telah dilanda peperangan (10 November 1945) dengan Inggris (Notosusanto, 1991: 43).    
Pada awalnya setelah dibuka oleh Oerip Soemohardjo, rapat ini membicarakan tentang bagaimana membangun tentara yang kuat guna menghadapi serangan musuh. Kemudian keadaan-keadaan didaerah masing-masing dilaporkan oleh panglima divisi atau komandan resimen yang datang dalam rangka membangun tentara yang kuat dalam guna menghadapi serangan musuh tersebut (Tjokropranolo 1992:63.
Lalu setelah itu mereka mulai membicarakan tentang perlunya pucuk pimpinan yang dapat memberikan arahan, instruksi maupun komando yang jelas bagi mereka. Kemudian diadakanlah pemilihan pimpinan tertinggi TKR. Suasana rapat semakin seru, hangat dan riuh ramai ketika dimulai pencalonan nama nama yang akan dijadikan calon panglima karena yang hadir belum siap untuk mengajukan nama calon masing masing. Akibatnya Soedirman meminta rapat diskors sebentar (Tjokropranolo 1992:64).  Saat itu sebetulnya telah mencuat dua nama yang ramai dibicarakan untuk mengganti Soeprijadi. Yaitu Oerip Soemohardjo sendiri yang ketika itu mendapatkan mandat sebagai kepala Staf Umum dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Lalu satu lagi yaitu Soedirman Panglima Divisi V Banyumas. Munculnya nama Soedirman adalah dari kalangan mantan PETA yang hadir dalam rapat tersebut[1]. Sepertinya para mantan KNIL masih berharap Oerip yang dapat memenangkan pemilihan tersebut karena bagaimanapun juga Oerip adalah tokoh senior yang dianggap mumpuni dan cakap dalam organisasi kemiliteran. Apalagi dia seorang lulusan Sekolah Militer Breda di Belanda. Akan tetapi sepertinya tidak demikian yang terdapat dalam pemikiran kalangan mantan PETA yang hadir dalam rapat saat itu. Rupanya mereka masih punya kecurigaan pada perwira-perwira mantan KNIL karena mereka dianggap sebagai perwira didikan Belanda. Oleh karena itu, mereka masih berharap bahwa pengganti Soeprijadi adalah juga mantan PETA.
Kemudian setelah waktu skorsing dicabut dimulailah lagi rapat tersebut. Dipilihlah salah seorang pimpinan sidang yang secara aklamasi terpilih adalah perwira Kolonel Holland Iskandar. Holland Iskandar memimpin secara terbuka rapat tersebut dengan meminta pengajuan para calon panglima oleh hadirin dan langsung dituliskan di papan tulis. Diantaranya yang terpilih dituliskan di papan tulis adalah:
1.      Hamengkoeboewono IX
2.      Widjoyo Soerjokoesoemo
3.      GPH Poerbonegoro
4.      Oerip Soemohardjo
5.      Soedirman
6.      Soerjadharma
7.      M. Pardi
8.      Nazir
Pemilihan berlangsung hanya dengan mengacungkan tangan ketika nama calon disebutkan oleh Holland Iskandar (Tjokropranolo 1992: 64).
            Pemilihan berlangsung tiga putaran. Pada putaran pertama dua calon gugur. Pada putaran kedua dua calon gugur lagi. Pada putaran ketiga tersisa empat nama diantaranya Soedirman, Oerip Soemohardjo, Hamengkoeboewono IX dan Soerjadharma. Lalu terpilihlah Soedirman dengan selisih suara yang tidak terlalu banyak dengan Oerip Soemohardjo[2] (Pernyataan Djatikoesoemo dalam Tjokropranolo 1992: 64). Oerip Soemohardjo kemudian tetap diminta menjabat sebagai Kepala Staf Umum, dan secara aklamasi ditetapkanlah Hamengkoeboewono IX sebagai Menteri Keamanan. 
Setelah diadakan pemilihan dalam rapat maka terpilih sebagai Panglima Tentara adalah Soedirman yang ketika itu masih berusia 29 tahun. Dikalangan perwira-perwira Jawa yang hadir kala itu, Soedirman dipandang memiliki daya tarik dankharisma yang besar. Ketika zaman Pendudukan Jepang dia pernah duduk sebagai anggota Dewan Daerah “Syu Sangi Kai” Purwokerto Jawa Tengah. Dan namanya terkenal setelah berhasil merebut senjata dari gudang tentara Jepang dan memukul mundur satuan tentara Inggris dalam peristiwa Palagan Ambarawa (Salam 1963: 21-26).
Kemenangan Soedirman dapat dianalisis sebagai berikut: Pertama perlu diketahui bahwa yang banyak hadir rapat dan ikut memilih dalam rapat itu adalah para mantan PETA. Ada beberapa mantan PETA yang sebetulnya pernah mengenyam kemiliteran KNIL. Mereka ini pernah menjadi anggota KNIL dan saat Jepang menduduki Indonesia mereka beralih menjadi anggota PETA dan ketika Indonesia merdeka memilih masuk BKR. Diantara mereka adalah Djatikoesoemo, Soeharto, Gatot Soebroto dan Ibrahim Adjie. Sedangkan jumlah terbanyak adalah mantan PETA yang masuk BKR yang terkemuka dari golongan ini adalah Soedirman. Mantan KNIL jumlahnya lebih sedikit. Mereka dapat dibagi dua yaitu yang pertama adalah yang sempat mengenyam pendidikan di Breda (jumlahnya paling sedikit) diantara mereka adalah Didi Kartasasmita, Soerio Soelarso, Soerjadharma dan Oerip Soemohardjo yang paling senior diantara mereka. Lalu yang kedua adalah mereka yang hanya dididik dalam sekolah militer KNIL di Cimahi yaitu TB Simatupang, AH. Nasution dan Alex Kawilarang (Sundhaussen, 1988: 20-23).
Kedua kebanyakan dari mereka adalah orang dari suku-suku dari Pulau Jawa. Suku Jawa termasuk yang dapat digolongkan dalam ini adalah perwira-perwira Cirebon didalamnya dan sedikit perwira dari suku Sunda. Para perwira dari luar Pulau Jawa jumlahnya sangat sedikit mereka diantaranya adalah AH Nasution dan TB Simatupang. Sedangkan sebagian besarnya adalah para perwira dari suku Jawa dan Sunda seperti Oerip Soemohardjo, Soedirman, Gatot Soebroto, Didi Kartasasmita, Ibrahim Adjie, Hidajat Padmadisastra (Sundhaussen, 1988: 20-23).
Analisis ketiga, diantara mereka sebagian besarnya adalah muslim dan sedikit para perwira abangan atau priyayi Jawa. Di Jawa terdapat subkultur Santri dan Abangan (untuk hal ini baca The Religion of Java dari Cliffort Geertz) Dan lebih sedikit lagi adalah perwira Protestan seperti Simatupang dan Kawilarang (Sundhaussen, 1988: 20-23). Melihat komposisi yang hadir kala itu akan sulit bagi Oerip Soemohardjo yang mantan KNIL dan seorang Jawa abangan dapat memenangkan pemilihan pada rapat tentara itu.
Selain Panglima tertinggi TKR, ketika itu dipilih pula tokoh yang akan menjadi menteri keamanan rakyat. Menteri Keamanan terpilih ketika itu adalah Sri Soeltan Hamengkoeboewono IX untuk menggantikan Moehamad Suljoadikoesoemo. Dalam terpilihnya Sri Soeltan tidak terlalu banyak masalah. Tampak lebih mudah karena tidak ada nama lain yang diajukan selain nama Sri Soeltan.
Pemilihan panglima tertinggi TKR tersebut mencerminkan paham demokratis yang ada dikalangan militer saat itu. Disaat sebagian besar orang Indonesia kala itu belum berpikiran demokratis, tentara sudah menerapkan demokrasi dalam pemilihan panglima tertingginya. Menurut Nugroho Notosusanto (1991: 43) tidak mungkin dalam suatu tentara profesional ala barat dilakukan pemilihan seorang panglima besar oleh pihak tentara itu sendiri. Sedangkan menurut Tjokropranolo (1992) pemilihan ini berlangsung secara demokratis dan penuh perasaan kesetiakawanan. Oerip Soemohardjo-lah tokoh dibalik munculnya paham demokratis tersebut karena dari dialah ide pemilihan secara demokratis ini diadakan.
Walaupun akhirnya Oerip Soemohardjo dapat menerima hasil rapat tentara itu, pada awalnya Oerip Soemohardjo sempat agak kecewa dengan hasil itu. Mohamad Hatta pun berkeberatan untuk mengakui hasil rapat tentara di Yogyakarta tersebut karena Hatta telah berharap banyak pada Oerip Soemohardjo karena latar belakang pendidikan militernya dari Breda Belanda tersebut. Disaat Hatta dan Oerip dalam kebimbangan, Soekarno mengambil keputusan untuk mengakui hasil rapat tentara Yogyakarta tersebut. Kurang lebih sebulan Soekarno menyakinkan Hatta dan Oerip dengan berdiskusi dan akhirnya memutuskan untuk mengakui hasil rapat tentara di Yogyakarta tersebut (Notosusanto, 1991: 43). Jika rapat tentara di Yogyakarta tersebut tidak diakui maka kemungkinan besar tentara tidak akan setia pada Pemerintahan Indonesia dibawah Soekarno Hatta. Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Soekarno-Hatta pasti akan mendapatkan dua musuh sekaligus. Pertama tentara Sekutu dan NICA telah datang untuk mengambil alih Indonesia kembali.  Kedua tentara yang akan berjuang sendiri tanpa ketaatan pada Pemerintah RI dibawah Soekarno-Hatta. Soekarno yang telah lama menggandrungi persatuan dan kesatuan lebih memilih mengakui hasil rapat tentara di Yogyakarta itu.
            Terpilihnya Soedirman dan Soeltan Hamengkoeboeono IX kala itu sepertinya lebih mencerminkan subkultur dalam masyarakat Jawa. Soedirman yang berlatar belakang Santri Moehamadiyah dan Soeltan Hamengkoeboeono IX yang berlatar belakang Priyayi Abangan. Clifford Geertz pernah mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam tiga subkultur yaitu Santri, Abangan dan Priyayi. (lihat Clifford Geertz Religion of Jawa, 1981).
            Pada tanggal 18 Desember 1945 akhirnya setelah kurang lebih sebulan kemudian dari rapat tentara di Yogyakarta, Kolonel Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal. Sedangkan Oerip Soemohardjo dilantik kembali sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal (Notosusanto 1991: 43 dan Tentara Keamanan Rakyat no 1 tahun 1, 10 Januari 1946).
            Pada akhir tahun 1945 timbul konsep keselamatan untuk merubah konsep keamanan dengan harapan dengan konsep keselamatan tersebut bahwa tentara akan lebih memperluas dan memperdalam tugas ketentaraannya (Nasution, 1970: 258). Pemerintah mengabulkan dan lalu menerbitkan surat penetapan pada tanggal 1 Januari 1946. Sejak itu nama tentara adalah TKR (Tentara Keselamatan Rakyat). Begitu juga nama Kementerian Keamanan digantikan menjadi Kementerian Pertahanan (Nasution,1970: 258-259).

Penutup
Dalam rapat tentara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, telah terbukti bahwa sistem demokrasi yaitu pemilihan langsung telah digunakan untuk memilih pimpinan tertinggi tentara Indonesia saat itu. Saat para pimpinan sipil belum terpikirkan akan hal itu, Oerip Soemohardjo telah menerapkannnya dalam pemilihan Panglima Tertinggi tentara Indonesia. Suatu hal yang unik tapi nyata dalam sejarah kemiliteran Indonesia.
Melihat berkembangnya sistem demokrasi sedemikian rupa seperti yang terjadi di Indonesia sekarang, ternyata pihak militer di Indonesia telah mempraktekkannya dalam pemilihan panglima pertamanya. Oleh karena itu sangat tepat jika TNI sekarang mendukung sistem demokrasi di Indonesia karena telah dicontohkan oleh bapak-bapak founding-father pendiri TNI itu sendiri.


DAFTAR SUMBER
Buku
Fattah, Abdoel. 2005. Demiliterisasi Tentara; Pasang Surut Politik Militer 1945- 2004. Yogyakarta: LKiS.
Geertz, Clifford. 1981. The Religion of Java; Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Nasution, A.H.1970. TNI Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Seruling Masa.
Notosusanto, Nugroho (editor). 1991. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Sinar Harapan.
Salam, Solihin. 1963. Jenderal Sudirman Pahlawan Kemerdekaan. Jakarta: Jaya Murni
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967; Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.
Soebroto, Rohmah Soemohardjo. 1973. Oerip Soemohardjo Letnan Jenderal TNI; 22 Februari 1893-17 November 1948.  Jakarta: Gunung Agung.
Tjokropranolo. 1992. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman; Pemimpin Pedobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal.. Jakarta: PT Surya Persindo.
Majalah
Kementrian Pertahanan. Tentara Keamanan Rakyat. 1946. Yogyakarta.
Surat Kabar
Soeara Asia, 24 Agustus 1945
Soeara Merdeka, 10 November 1945
Tjahaja, 21 Agustus 1945
Tjahaja, 23 Agustus 1945


[1] lihat Tentara Keamanan Rakyat terbitan Yogyakarta tahun 1946
[2]  “Pernyataan ini diperoleh dari pak Djatikoesoemo yang disampaikan pada peringatan wafatnya pak Dirman pada tanggal 9-2-1991 yang diadakan oleh Yayasan PETA di Gedung Pola Jakarta mengenai riwayat dipilihnya pak Dirman (Tjokropranolo 1992: 64)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar