1.Asal Usul Madrais
Pada akhir abad ke-19 di daerah Cigugur Kabupaten
Kuningan muncul suatu gerakan sosial atau gerakan keagamaan yang dipimpin oleh
seorang tokoh bernama Madrais. Madrais adalah anak dari Pangeran Gebang yang
bernama Alibassa Koesoemawidjajaningrat dari Keraton Gebang yang menikah dengan
perempuan bernama Kastewi seorang keturunan dari Tumenggung Jayadipura dari Lebakwangi.
Hal ini tertulis dalam arsip surat dari Pangeran Keraton Kanoman Cirebon yang
bernama Hoedajabrata pada 1 September 1922 yang dikirimkan kepada Pemerintah
Hindia Belanda[1].
Tahun kelahiran Madrais adalah pada tahun 1832[2]. Pada
saat Madrais lahir, Pangeran Alibassa telah meninggal dunia.
Setelah Madrais lahir, Kastewi tinggal menetap di rumah
seorang Kuwu Desa Cigugur bernama Ki Sastrawadhana. Oleh karena tidak lahir
dalam Keraton Pagebangan melainkan lahir jauh dari keluarga ayahnya itulah maka
Madrais disebut oleh beberapa kalangan keraton Cirebon sebagai putra bunian artinya putra yang disembunyikan.
Saat Madrais dititipkan ke kuwu desa tersebut nama Sadewa diubah menjadi
Taswan.
Sejak lahir hingga berusia 10 tahun Taswan atau Sadewa
hidup dan tinggal di Cigugur[3]. Pada saat berusia 10 tahun, ia dibesarkan oleh kakek
dari ibunya yang merupakan guru mengaji dari Lebakwangi. Pada saat Madrais
tinggal di tempat kakeknya itulah ia mendapatkan nama Muhammad Rais yang
kemudian lebih sering disingkat menjadi Madrais[4]. Ketika
dewasa, Madrais mulai mengembara untuk belajar ke beberapa pesantren di sekitar
Cirebon. Madrais mulai mengembara pada usia 10 tahun[5] dan
berpindah pindah pesantren dalam beberapa tahun. Jadi sewaktu Madrais ikut
dalam keluarga kakek dari ibunya yang merupakan guru mengaji itulah Madrais
telah memulai pengembaraannya. Pengembaraan Madrais terjadi saat usianya baru
menginjak sepuluh tahun. Jika Madrais dilahirkan pada 1832 maka pada 1842
pengembaraan itu mulai dilakukan.
Menurut peneliti ajaran Madrais bernama W. Straathof[6] bahwa
Madrais kemudian menghentikan kegiatannya di pesantren karena merasa mendapatkan
ilham atau pulung yang merupakan
dorongan baginya untuk mengembara sambil berpuasa. Madrais memang tidak pernah
tuntas atau selesai atau lulus belajar dari pesantren, kegemaran Madrais adalah
berpuasa dan beribadah di tengah malam, bukannya mempelajari ilmu-ilmu lain
dari pesantren[7].
Ada
dorongan lebih besar dalam diri Madrais untuk mempelajari ilmu gaib, mistik dan
kebatinan daripada ilmu-ilmu lain setelah merasa menerima pulung. Lalu Madrais
berkeliling mengunjungi dusun-dusun terutama tempat-tempat yang terkenal karena
kesaktiannya sambil lelaku
puasa dan beribadah di tengah malam. Sejak itu Madrais lebih banyak belajar
ilmu-ilmu kebatinan[8].
Pada
1869 Madrais terlibat dalam peristiwa kerusuhan di Tambun Bekasi. Ia disebut
Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon. Saat itu para petani di Tambun mengalami
kemelaratan karena selalu diperas tuan tanah. Saat itu Madrais yang datang dari
Cirebon menyatakan bahwa tanah diantara Sungai Citarum hingga Sungai Cisadane
adalah tanah-tanah rakyat warisan dari leluhur mereka. Rakyat mendukung Madrais
dan hari pemberontakan ditentukan 5 April 1869 dan akan menyerang daerah Tambun. Akan tetapi, pemberontakan itu kemudian dapat ditumpas
oleh Pemerintah Kolonial[9]. Sejak terlibat dalam peristiwa tersebut,
Madrais hidup berpindah
pindah mengembara
dengan menyembunyikan identitas dirinya. Oleh karena itu, kemudian ia
mengganti-ganti namanya. Ia mengembara ke pesantren-pesantren hingga sampai ke Jawa Timur. Madrais
mengembara hingga ke Jawa Timur dengan memakai nama Gusti Ahmad[10].
2.Munculnya Gerakan Sosial
Madrais di Cigugur
Madrais
baru mengakhiri pengembaraannya dan pulang ke Cigugur untuk menikah. Madrais
menghentikan pengembaraannya
atau
pelariannya dan selanjutnya menetap di Cigugur. Ia tinggal di rumah yang
sekarang menjadi gedung Paseban Tri Panca Tunggal[11].
Jika
Madrais lahir pada 1832, maka usia Madrais adalah 49-53
tahun pada saat kembali ke Cigugur. Hal ini juga berkesesuaian dengan apa yang
tertulis dalam arsip surat laporan dari R. Kern seorang Penasehat Urusan
Bumiputra kepada Gubernur Jenderal D. Fock pada 6 Oktober 1925. Dalam surat itu
disebutkan bahwa para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais itu sudah terdapat di
Cigugur sejak 40 tahun lalu atau sekitar 1885. Jadi kemungkinan besar Madrais
menikah pada sekitar 1880-1885 lalu menetap di Cigugur setelah
menikah. Sejak itu sedikit demi sedikit timbul orang-orang yang mempercayainya
dan kemudian menjadi pengikutnya,
sehingga pada 1885 sudah terbentuk komunitas
pengikut
ajaran Madrais di Cigugur dan sekitarnya. Dalam wawancara Kompas dengan Djatikusumah cucu Madrais, yang tertera dalam Kompas pada 2 Juni 1997, Djatikusumah
menyebutkan bahwa rumahnya yang sekarang menjadi Cagar Budaya Paseban Tri Panca
Tunggal dibangun pertama kali pada 1860. Jadi kemungkinan
besar pada awalnya rumah
itu dibangun untuk ditempati oleh Kastewi pada tahun itu. Kemudian diwariskan
ke Madrais setelah Madrais menikah dan menetap di Cigugur sekitar 1880-1885.
Pada awalnya Madrais menetap di Cigugur
untuk mendirikan
pesantren dan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan pandangan-pandangannya.
Akan tetapi, kemudian ia lebih bertindak sebagai guru kebatinan daripada
mengajarkan Agama Islam. Madrais lebih terkenal dengan sebutan Kyai Madrais ketika itu. Kemudian Madrais pernah berseteru dengan
Kyai Mad (Muhammad) Tohir yang menghina Madrais anak haram dari Pangeran Gebang
yang tidak berhak memimpin sholat atau
menjadi imam sholat karena sholatnya menjadi tidak sah. Sejak itu Madrais merasa tidak
lagi nyaman menjadi muslim[12].
Sejak
menetap di Cigugur itulah pandangan-pandangannya atau ajaran-ajarannya mulai
memperoleh wujud yang lebih jelas sebagai suatu ajaran kebatinan. Dari Desa Cigugur itulah Madrais
kemudian mulai menyebarkan ajaran dan pandangannya. Banyak orang tersentuh oleh
nasehat-nasehatnya terutama oleh kepribadiannya[13]. Ajaran Madrais ini kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di
luar Kuningan. Daerah pengaruhnya cukup luas karena Madrais dapat menggunakan
situasi di pedesaan secara baik. Ia pandai mengobati
orang yang terserang
penyakit bahkan pandai
menyembuhkan orang yang terserang black
magic, lalu pandai menasehati bahkan pandai meramal nasib orang[14].
Sejak Madrais menetap di Cigugur, mulailah muncul
pengikut dari sekitar tempat tinggalnya. Para pengikut Madrais tersebar luas hingga keluar
Kuningan. Akibatnya, Madrais harus konsekwen mengorganisir semua pengikutnya
yang begitu banyak tersebar di beberapa tempat di Kabupaten Kuningan. Untuk
itu, kemudian Madrais mengangkat pembantu-pembantunya yang kemudian disebut
dengan nama badal. Badal-badal itu yang mencari dan mengumpulkan pengikut bagi Madrais.
Rupanya setelah membuka praktek pengobatan, nama Madrais menjadi sangat
terkenal di Kuningan dan sekitarnya terutama di kalangan
masyarakat pedesaan. Terkenalnya
Madrais ini menyebabkan
dengan mudahnya badal-badal itu mengumpulkan pengikut Madrais. Akibatnya ajaran-ajaran Madrais
ini berkembang meluas lagi ke berbagai daerah di Jawa Barat. Ketika itu terjadi maka sedikit
demi sedikit muncullah apa yang dinamakan Gerakan Sosial Madrais yang berpusat
di Cigugur.
Para pengikut Gerakan Sosial Madrais yang telah tersebar
luas di Jawa Barat itu tidak hanya pasif menerima ajaran
Madrais saja, tetapi juga aktif memberi dukungan finansial. Adanya
dukungan finansial itu telah membuka peluang untuk korupsi bagi badal-badal Madrais. Beberapa badal
Madrais ternyata telah melakukan pemerasan pada beberapa keluarga pengikut Gerakan
Sosial Madrais seperti yang terjadi di Tasikmalaya pada 1903. Akibatnya, pada tahun itu Madrais langsung diajukan ke pengadilan Tasikmalaya.
Madrais dipaksa bertanggungjawab atas perilaku para badalnya yang melakukan
pemerasan di Tasikmalaya. Madrais pun dikenai tuduhan memeras para pengikutnya
dengan menggunakan badal-badalnya. Kemudian Hakim Distrik Tasikmalaya menghukum Madrais
untuk melakukan kerja paksa selama empat tahun dan membayar denda 200 Gulden
atau jika tidak mampu membayar maka kerja paksanya ditambah dua tahun lagi.
Pada awalnya Madrais dikirim untuk melakukan kerja paksa di Pamijahan selama
empat tahun. Akan tetapi, kemudian Madrais diasingkan ke Merauke di Pulau Irian
untuk kerja paksa selama dua tahun[15]. Selama Madrais
dalam pembuangannya di Merauke, kegiatan di Cigugur dipimpin langsung oleh Nyi
Maskinah istri dari Madrais. Selain mengurus keluarga, Nyi
Maskinah menjadi pemimpin sementara gerakan
sosial tersebut[16].
Pada 1908 Madrais dipulangkan dari Merauke karena dianggap
telah menjadi gila dan dikirimkan pulang ke Pulau Jawa untuk dirawat di Rumah
Sakit Jiwa di Bogor. Di Rumah Sakit Jiwa itu ternyata Madrais dianggap waras
oleh para dokter jiwa sehingga langsung diperbolehkan pulang kembali ke Cigugur[17].
Pembuangan Madrais ke Merauke di Papua ini selain karena
tidak dapat membayar denda, kemungkinan besar karena adanya peristiwa gerakan
Surontiko Samin di Rembang-Blora dan sekitarnya pada awal abad ke-20. Sepertinya Pemerintah Hindia Belanda mengkhawatirkan Gerakan Sosial
Madrais ini melakukan tindakan melawan pemerintah dengan menolak membayar pajak
seperti yang dilakukan para pengikut Surontiko Samin, maka Madrais diasingkan
ke Merauke di Pulau Papua (Irian). Surontiko Samin sendiri akhirnya diasingkan
ke Padang pada
1907 hingga meninggal di sana pada 1914 [18].
Rupanya kekhawatiran Pemerintah Hindia
Belanda itu tidak terbukti. Pengikut-pengikut
Gerakan Sosial Madrais tidak melakukan gerakan penolakan membayar pajak atau gerakan
perlawanan lainnya seperti yang dilakukan oleh gerakan Samin di Blora dan
seperti yang dikhawatirkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gerakan sosial
bercorak keagamaan pimpinan Madrais ini menurut surat R Kern kepada Gubernur
Jenderal D. Fock, selama 40 tahun tidak mengganggu dan menyulitkan pemerintah [19].
Setelah Madrais pulang ke Cigugur, kegiatan Madrais dan
keluarganya tetap diawasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Madrais dan
keluarganya sebetulnya mengetahui bahwa mereka diawasi. Oleh karena itu, mereka
tidak membuat gerakan perlawanan yang dapat merugikan rakyat banyak maupun
merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Madrais dan keluarganya hanya
mengajarkan menanam bawang kepada para pengikut gerakan sosialnya yang tinggal di Cigugur dan sekitarnya. Kepandaian menanam bawang ini
kemungkinan didapatkan
Madrais
selama ia berada dalam kerja paksa[20].
Pada 10 Juli 1922 Madrais mengirimkan surat permohonan
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia supaya ia diijinkan
menggunakan gelar pangeran. Menantunya Raden Satriya Koesoema berkirim surat
juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1 September
1922. Surat menantu Madrais itu
rupanya untuk memperkuat surat mertuanya. Raden Satriya menjelaskan bahwa Madrais adalah anak Pangeran Alibassa
Koesoemawidjajaningrat dari Keraton Gebang. Ia menjelaskan pula
bahwa berdasarkan garis ini Madrais adalah keturunan ke-6 dari Sultan Muhammad
Hoeridin dari Cirebon dan berhak menyandang gelar pangeran.
Dalam suratnya, Raden Satriya menyertakan tulisan keterangan yang dibuat oleh
Hoedajabrata seorang Pangeran Keraton Kanoman Cirebon[21]. Akan tetapi, surat permohonan itu ditolak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui
surat no 7 tertanggal 15 November 1922 yang dikirimkan kepadanya. Rupanya
Gubernur Jenderal tidak bergeming walaupun telah dilengkapi surat keterangan
dari Pangeran Keraton Kanoman Cirebon bernama Hoedajabrata. Akibatnya Madrais tetap tidak diperbolehkan menggunakan gelar pangeran karena dianggap
tidak berhak atas gelar itu[22].
Pada 1923 Madrais kembali merasakan ditahan selama tujuh bulan atas perintah Kepala Daerah Garut karena dituduh
melakukan penipuan terhadap beberapa orang Garut sebesar 800 Gulden. Setelah
diajukan dan diperiksa di Pengadilan Negeri Garut, Madrais dibebaskan karena
dianggap tidak ada dasar yang cukup untuk menuntutnya lebih lanjut. Hanya
badal-badalnya yang terbukti melakukan penipuan tetap dituntut dan diberi
hukuman. Madrais dikeluarkan dari penjara pada 22 Maret 1924. Ia sampai kembali
di Cigugur pada 24 Maret 1924 dengan diiringi oleh istrinya, anak lelakinya
Tedjabuana dan menantunya Raden Satriya Koesoema suami dari anak Madrais yang
bernama Ratoe Soekainten. Ketika sampai di Cigugur mereka menunjukkan surat
dari kepala sipir penjara di Garut kepada masyarakat Cigugur yang menyambut
kedatangan mereka. Maksud Madrais menunjukkan surat itu kepada masyarakat
Cigugur mungkin hanya untuk menunjukkan bahwa ia secara sah telah selesai
menjalani hukumannya dan telah dibebaskan. Akan tetapi, rupanya dalam surat dari kepala sipir penjara di Garut itu
tercantum nama Madrais
dengan gelar pangeran didepan nama Madrais. Akibatnya makin banyak orang yang
mempercayai bahwa Madrais telah sah memiliki gelar pangeran [23]. Sejak
itu Madrais seperti punya alasan untuk menggunakan gelar pangeran didepan
namanya. Ia menggunakan gelar pangeran itu dalam berbagai kegiatan
spiritualnya. Selain itu Madrais mulai mengubah namanya menjadi Madrais alias
Pangeran Alibassa Koesoemawidjajaningrat. Nama Alibassa itu mungkin digunakan Madrais
untuk menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Pangeran Gebang bernama Alibassa.
Akibat dari penggunaan gelar pangeran itu
beberapa bulan kemudian, pada pertengahan 1924, Madrais
kembali diajukan ke pengadilan. Kali ini Madrais dituduh menggunakan gelar yang
tidak sah seperti tertulis pada Pasal 507 ayat 1 KUHP [24]. Masalah ini bermula ketika Madrais mengirim surat
kepada Asisten Wedana Kuningan. Ia memakai nama Madrais alias Pangeran
Alibassa. Gelar pangeran ia gunakan setelah ia pulang dari Garut seperti disebutkan
sebelumnya. Akibatnya kemudian Pengadilan Distrik Kuningan menjatuhkan hukuman denda sebesar 25
Gulden subsidier 5 hari melalui surat keputusan Pengadilan Negeri Kuningan no
302 tanggal
23 Agustus 1924. Untuk mengurangi hukuman itu menantu Madrais bernama Raden
Satriya Koesoema dengan menggunakan nama Pangeran Adiningrat dari Cirebon
mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pada 28
Agustus 1924. Isi surat itu memohon keringanan agar mertuanya tidak didenda sebesar
itu. Akan tetapi, rupanya Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu menolak melalui surat no
17 pada15 November 1924. Dengan demikian, berarti Madrais tetap harus membayar
denda
itu. Dengan terpaksa Madrais harus membayar denda sebesar 25
Gulden ke Pengadilan Distrik Kuningan. Kejadian ini tidak berpengaruh pada para pengikut Gerakan
Sosial Madrais. Mereka tetap setia pada Madrais[25].
Rupanya ketika Pemerintah Hindia Belanda menolak pemakaian gelar pangeran di
depan nama Madrais, masyarakat Cigugur dan sekitarnya percaya bahwa Madrais
memang layak menyandang gelar pangeran karena masyarakat percaya bahwa Madrais
keturunan Pangeran Gebang dari Keraton Pagebangan. Akhirnya terbukti legitimasi
dari masyarakat terutama para pengikut pengikut Gerakan Sosial Madrais lebih
penting dibandingkan pengakuan dari
Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1925, terjadi peristiwa yang mengubah sejarah Gerakan Sosial Madrais. Pada awal 1925, Raden Satriya Koesoema menantu Madrais beserta
dengan beberapa orang keluarga Madrais menerbitkan buku ajaran dari Madrais
yang berjudul Pikoekoehnja dari “Igama
Djawa”(Djawa-Soenda-Pasoendan). Untuk terbitan yang pertama kalinya,
diterbitkan oleh Firma De Boer. Kemudian buku itu diterbitkan lagi oleh penerbit-penerbit Cirebon lainnya
juga[26]. Penerbitan
buku tentang ajaran Madrais itu
telah membuat orang-orang dapat membaca tentang apa yang
diajarkan oleh Madrais. Rupanya para pengikut Gerakan Sosial Madrais itu
berharap buku itu dapat merubah kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap
keberadaan komunitas gerakan sosial keagamaan mereka.
Selain
dengan penerbitan buku, kemudian
beberapa orang pengikut Gerakan Sosial Madrais mengirim surat kepada Bupati
Kuningan M. Achmad untuk pengakuan keagamaan mereka. Dalam surat itu tertulis bahwa mereka meminta
perlindungan dan pengakuan terhadap agama yang mereka anut
agar diakui sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka yang meminta perlindungan dan pengakuan Agama
Djawa Soenda itu adalah
1.
Kertadipradja,
Reksadikerta, Kariaperwata dan Raksaparnata semuanya berasal dari Desa Puncak Distrik Kuningan yang mengirim surat pada 27 April
1925.
2.
Raksaperwata
dari Desa Cigugur Distrik Kuningan yang mengirim surat pada 28 April 1925
3.
Atmadiraksa
dari Desa Cigugur Distrik Kuningan yang mengirim surat pada 28 April 1925
4.
Amirdja
dari Desa Cigugur
Distrik Kuningan
yang mengirim surat pada 4 Mei 1925
5.
Natadiprana
dari Desa Cineumbeu
Distrik Ciawigebang yang mengirim surat pada 12 Mei
1925
6.
Singajoeda
dari Desa Walahar (Walaharcageur) Distrik Lurahgung yang mengirim surat pada 12 Mei 1925[27]
Permintaan beberapa pengikut Gerakan Sosial Madrais itu ditanggapi
oleh Bupati Kuningan M. Achmad dengan memberi pernyataan bahwa perlindungan dan
pengakuan itu tidak perlu diberikan secara khusus kepada ajaran-ajaran
keagamaan Madrais sebab pada prinsipnya di negeri ini diakui kebebasan beragama
dan setiap orang dari agama apapun diberi perlindungan. Lalu berdasarkan
permintaan beberapa pengikut Gerakan Sosial Madrais itu,
M. Achmad Bupati Kuningan mengirimkan surat kepada Residen Cirebon
bernama RPM van der Meer pada 15 Juni 1925[28]. Masalah permohonan para pengikut
Gerakan Sosial Madrais itu kemudian
dibahas oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda D. Fock setelah Residen Cirebon
RPM van der Meer mengirim surat padanya 18 Juli 1925. Gubernur Jenderal D. Fock
kemudian meminta nasehat dari Penasehat Urusan Bumiputra bernama R. Kern tentang
masalah permohonan
pengikut
Gerakan Sosial Madrais[29]. Terbitnya surat dari Penasehat Urusan Bumiputra bernama
R. Kern itu
rupanya telah melandasi berubahnya pandangan pemerintah Hindia Belanda terhadap para pengikut
Gerakan Sosial Madrais. Secara tidak langsung surat dari Penasehat Urusan Bumiputra
bernama R. Kern telah memberikan
pengakuan yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena
di Hindia Belanda memang semua agama diperbolehkan berkembang asalkan tidak
membuat kekacauan, keonaran atau masalah lainnya yang dapat mengganggu
ketertiban umum dalam masyarakat seperti yang dituliskan oleh R. Kern pada butir
keempat diatas. Surat ini adalah tonggak batas mulainya perubahan bagi sejarah
perkembangan Gerakan Sosial Madrais.
Kemudian berdasarkan surat dari R. Kern kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda bernama D. Fock pada6 Oktober 1925 maka Pemerintah Hindia Belanda
mulai menganggap keberadaan Gerakan
Sosial
Madrais di Cigugur dan sekitarnya itu tidak berbahaya. Para pengikut Gerakan Sosial Madrais kemudian secara
resmi disebut pengikut Igama DjawaSoenda
Pasoendan oleh Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda ketika itu.
Madrais meninggal pada 19Sura 1872 Saka
Sunda. Menurut pihak
keluarga keturunan Madrais tahun wafatnya adalah pada 1939 Masehi. Sejak memiliki gubuk di Curug Goong itu
memang Madrais sering
menginap
sendirian di gubuk tersebut untuk beberapa lama. Seminggu sebelum tanggal 19 Sura,
hari Minggu pagi Madrais memanggil Tedjabuana anak lelaki satu-satunya. Tedjabuana
datang bersama Djatikusumah yang saat itu masih kecil dan digendong oleh
ayahnya. Tedjabuana terlihat agak murung
ketika Madrais memberitahu bahwa Madrais akan pulang. Setelah itu Tedjabuana
menyampaikan kata-kata Madrais tersebut di Paseban. Semua mengira Madrais akan
pulang ke Cigugur. Mereka bersiap-siap menyambut Madrais. Pada tanggal 19 Sura hari Minggu tepat jam 7 pagi,
Tedjabuana, Djatikusumah dan beberapa kokolot
atau ais pangamping datang
berkumpul di gubuk di Curug Goong. Tepat jam 9 Madrais menyelonjorkan badannya
di kursi panjang dan tidak terlihat sakit. Lalu bercerita pelan-pelan pada
Tedjabuana. Lalu tepat jam 9 Madrais menidurkan badannya lalu memanggil
Djatikusumah cucu Madrais
dan memintanya mencium atau menghisap pusar Madrais dan tidak lama kemudian Madrais
meninggal. Meninggalnya Madrais disaksikan oleh Tedjabuana, Djatikusumah dan
beberapa kokolot atau ais pangamping. Sementara itu di Paseban orang telah
bersiap-siap menyambut Madrais. Ternyata yang datang ke Paseban adalah jenasah
Madrais yang dibawa oleh para kokolot.
Lalu jenasahnya ditidurkan di Balai Kencana Paseban. Dua hari di Paseban
kemudian baru dimakamkan di Kampung Pasir [30].
Setelah Madrais meninggal, keluarga Madrais
mendukung Tedjabuana untuk mengambil alih posisi ayahnya. Kakak perempuannya
yang bernama Ratoe Soekainten beserta suaminya Raden Satriya juga mendukungnya.
Mereka tidak mungkin bisa memimpin Gerakan
Sosial
Madrais yang berpusat di Desa Cigugur karena mereka telah tinggal menetap di
Cirebon. Sepertinya memang tidak ada lagi alternatif lain selain Tedjabuana
sebagai penerus kepemimpinan di antara para pengikut Madrais tersebut.
Tedjabuana berusia 47
tahun ketika meneruskan kepemimpinan Gerakan Sosial Madrais. Tedjabuana lahir pada 1892.
Ketika masa kepemimpinannya sebetulnya posisi Igama Djawa-Soenda sudah diakui
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Perkawinan para pengikut Gerakan Sosial Madrais telah diakui,
proses pemakaman para pengikut Gerakan
Sosial Madrais juga telah diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Buku panduan ajaran Madrais dan statutanya juga telah diterbitkan. Akhirnya
Tedjabuana hanya meneruskan apa yang telah dirintis oleh mendiang ayahnya.Tedjabuana
adalah anak lelaki satu-satunya dari Madrais. Ia memiliki kakak perempuan
satu-satunya yang bernama Ratoe Soekainten. Keduanya adalah anak Madrais dari
istrinya yang bernama Siti Yamah.
3.Pembubaran Gerakan Sosial Madrais Pada Masa Pendudukan
Jepang
Perubahan
pemerintahan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada Pemerintah
Pendudukan Jepang di Indonesia telah berpengaruh besar pada masyarakat
Indonesia ketika itu. Orang-orang yang dicurigai memiliki hubungan istimewa
dengan rezim Hindia Belanda ditakut takuti dan sering dihadapkan pada
pembatasan-pembatasan dan juga dikenai tuduhan-tuduhan oleh musuh-musuh mereka
pada masa lalu saat Hindia Belanda masih bekuasa.
Menurut
Harry J. Benda (1985) Pemerintah Pendudukan Jepang pada umumnya kecewa dengan
sikap para priyayi Pulau Jawa yang lebih banyak menjadi pendukung pemerintah
kolonial Hindia Belanda pada masa lalu. Oleh karena itu, pihak Jepang lebih
cenderung untuk merangkul kalangan Islam yang selama masa penjajahan Belanda
tampak dipinggirkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Maka dalam hal pembubaran
Gerakan Sosial Madrais ini, adalah
salah satu alasan yang dapat diterima hanyalah karena keinginan untuk
mendapatkan simpati dari kalangan Islam di Kabupaten Kuningan.
Sebetulnya
Pemerintah Pendudukan Jepang tidak memusuhi Gerakan Sosial Madrais ini. Mereka
tidak punya cukup alasan kuat untuk membubarkan gerakan ini. Oleh karena itu, Pemerintah Pendudukan Jepang
membuat tuduhan ajaran Madrais yang bunyinya Ngiblat Ka Ratu Raja adalah ajaran untuk bersetia pada Ratu Belanda
yang bernama Ratu Juliana dan Ratu Wilhelmina. Hal ini telah menyebabkan masyarakat memiliki alasan untuk
menuduh bahwa ajaran Madrais adalah bentukan Belanda dan Madrais adalah agen
rahasia Belanda. Apalagi Residen Cirebon saat itu yaitu Van Der Plass sering
berkunjung ke rumah Madrais pada akhir minggu. Makin kuatlah tuduhan bahwa Gerakan Sosial Madrais ini merupakan gerakan keagamaan bentukan Belanda. Oleh karena itu,
Pemerintah Jepang ingin melarang Gerakan
Sosial
Madrais ini. Akan tetapi pelarangan, Gerakan Sosial Madrais yang telah direncanakan sejak
1943 itu baru dilaksanakan pada awal 1944 Pemerintah Pendudukan Jepang meminta
penghentian semua kegiatan para pengikut Gerakan Sosial Madrais di manapun berada. Tedjabuana
yang tidak berpendirian sekuat ayahnya memilih untuk mentaati permintaan
Pemerintah Pendudukan Jepang itu.
Hal itu dilakukandemi menyelamatkan para pengikut Gerakan Sosial Madrais.
4.Kemunculan kembali sebagai
ADS (Agama Djawa Sunda)
Setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perubahan besar terjadi di Indonesia. Euforia
kebebasan bangsa Indonesia telah menyebabkan munculnya perjuangan untuk
menyebarkan berbagai ideologi di Indonesia. Euforia
tersebut rupanya juga melanda kalangan aliran kepercayaan atau kebatinan. Selama masa perang
kemerdekaan dari tahun 1945-1949 terjadi pula gerakan mendirikan
organisasi-organisasi kebatinan. Begitu juga euforia tersebut melanda para pengikut Gerakan Sosial Madrais. Tedjabuana
yang sejak 1944 menetap di Bandung, pada 1945 setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, ia pindah ke Tasikmalaya lalu ke Garut. Disekitar Tasikmalaya dan
Garut masih terdapat beberapa pengikut Gerakan Sosial Madrais yang masih setia menganut ajaran
Madrais [31]. Pada 1946 Tedjabuana diminta oleh para pengikut
Gerakan Sosial Madrais yang masih
tersisa di Cigugur untuk kembali ke Cigugur. Rupanya masih terdapat keinginan
dari para mantan pengikut Gerakan
Sosial
Madrais untuk mengembalikan ajaran-ajaran
Madrais dan atau Gerakan sosial Madrais. Dukungan kuat dari mantan
pengikut Gerakan Sosial
Madrais di Cigugur Kuningan, Tasikmalaya dan Garut membuat Tedjabuana bersemangat
untuk mendirikan kembali Igama Djawa Soenda Pasoendan.
Akan tetapi, karena situasi yang belum memungkinkan, Tedjabuana masih
berpindah-pindah tempat tinggal dari Tasikmalaya-Bandung pada periode 1945-1948
dan sesekali ke Garut, maka hal itu belum dapat diwujudkan[32].
Pada 1948 Tedjabuana sebetulnya diundang
panitia Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2 untuk berkumpul bersama tokoh-tokoh
kebatinan lainnya pada kongres di Magelang pada 20-24 Agustus 1948. Akan tetapi,
rupanya Tedjabuana tidak menghadiri undangan. Ketidakhadiran Tedjabuana tidak
diketahui penyebabnya. Kemungkinan Tedjabuana tidak menerima langsung surat
undangan karena keberadaannya masih berpindah-pindah antara
Bandung-Tasikmalaya. Kongres kebudayaan Indonesia tersebut dibuka oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam Kongres itu para tokoh penghayat kebatinan atau aliran kepercayaan mendeklarasikan
diri agar diakui eksistensinya oleh pemerintah Indonesia.
Setelah mendengar berita tentang
jalannya kongres tersebut, Tedjabuana kemudian mengumumkan berdirinya kembali Igama
Djawa Soenda Pasoendan
dengan nama baru yaitu ADS (Agama Djawa-Sunda) di Cigugur pada
September 1948[33]. Kata Agama Djawa Sunda dipilih untuk nama
organisasi pengikut Gerakan Sosial
Madrais. Nama ini diambil dari mengadaptasi nama sebelumnya, yaitu Igama Djawa Soenda Pasoendan menjadi
Agama Djawa Sunda.
Pada 1955, Tedjabuana diundang oleh Wongsonegoro untuk datang
dalam pertemuan para pengikut kebatinan di Semarang pada 19-21 Agustus 1955.
BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) dibentuk oleh para pengikut kebatinan
pada 19-21 Agustus 1955 di Semarang. Menurut Tokoh-tokoh kebatinan yang hadir ketika
itu adalah Wongsonegoro, Mei Kartawinata, Tedjabuana, Ramuwisit, dan Romodjati[34]. Sejak
itu, Tedjabuana menjadi salah satu tokoh kebatinan yang dihormati dalam BKKI
(Badan Kongres Kebatinan Indonesia). Dalam pertemuan itu nama Madrais dihormati
setara dengan pendiri-pendiri kebatinan yang lain sepeti Ki Ageng Suryomentara
pendiri aliran Kawruh Bejo, M. Subuh Sumohadiwidjojo pendiri aliran SUBUD
(Susila Budhi Dharma), Sosrokartono pendiri aliran Sang Alip, Mei Kartawinata
pendiri aliran Perjalanan, Sunarto Mertowardojo pendiri aliran Pangestu
(Paguyuban Ngesti Tunggal), Sukinohartono pendiri aliran Sumarah. BKKI (Badan
Kongres Kebatinan Indonesia) tersebut diketuai oleh Mr Wongsonegoro.
Dalam kongres kebatinan itu,
Djatikusumah cucu Madrais diangkat
sebagai ketua BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) Jawa Barat. Sementara
Basuki Nursananingrat diangkat sebagai sekretaris BKKI (Badan Kongres Kebatinan
Indonesia) Jawa Barat[35].
Setelah kongres itu, mereka melakukan
pendataan letak para pengikut Gerakan
Sosial
Madrais penganut Agama Djawa Sunda berada. Rupanya para pengikut Agama
Djawa-Sunda itu tersebar didaerah-daerah sebagai berikut:
1.
Di Kabupaten Kuningan terdapat di
Cigugur, Cipari, Lumbu, Pasir, Cisantana, Sukamulya, Puncak, Windu Haji,
Cibunut, Tagog, Walahar, Wedangtemu, Cimenga, Pugag, Lintungpaku, Kancana
Subang.
2.
Di Kabupaten Cirebon terdapat di daerah
Capar
3.
Di Kabupaten Ciamis terdapat di Susuru
dan Banjar
4.
Di Kabupaten Tasikmalaya terdapat di
Rajapolah, Ciawi, Nagaraherang, Sindangraja, Cisayong dan di Kota Tasikmalaya
5.
Di Kabupaten Garut terdapat di Kampung
Pasir, Cibodas, Wanaraja, dan di tengah Kota Garut
6.
Di Kabupaten dan Kotamadya Bandung
terdapat di Dago Pakar, Lamping, Cicendo, Warung Muncang, Padalarang, Ronggo
Cililin, Jati, Gunung Halu, Kiaracondong, Arcamanik, Manggahang, Majalaya, dan
Kacakacadua
7.
Di Kabupaten Subang terdapat di Jalan
Cagak, Kasomalang, Pasirbungur, dan Kaliwadas
8.
Ada satu, dua atau tiga keluarga yang tinggal
di Cikampek, Serang, Bogor, dan Kota Jakarta [36]
Setelah
pendataan kemudian dibentuklah kepengurusan baru yang lebih modern untuk
mengelola Agama Djawa-Sunda itu. Pada masa ini tidak lagi terdapat badal-badal
seperti pada masa kepemimpinan Madrais. Pengorganisasian tersebut adalah
sebagai berikut:
Nama
resmi adalah Agama Djawa-Sunda (ADS)
Ketua :
Pangeran Tedjabuana Alibassa (P.Tb Alibassa)
Sekretaris
:
Pangeran Djatikusumah
Wakil
Ketua Wilayah I: R. Soebagihardjo
(menantu ketiga dari Tedjabuana) Wilayah I meliputi wilayah Cirebon, Kuningan
dan Ciamis dengan pusat perwakilannya di Kuningan.
Wakil
Ketua Wilayah II: Basuki Nursananingrat (menantu keempat dari Tedjabuana).
Wilayah II meliputi wilayah Bandung, Tasikmalaya, Garut, Subang, Serang, Bogor,
dan Cikampek dengan pusat perwakilannya di Bandung [37].
Sejak itu Gerakan Sosial Madrais yang telah ada sejak
akhir Abad ke-19, mulai terorganisasi secara rapi dan modern.
Pada tahun 1960-an mulai terjadi konflik di Cigugur. Konflik
Cigugur 1964 terjadi antara kaum muslim dan para pengikut ADS (Agama Djawa Sunda). Konflik ini sebetulnya adalah dampak dari ketegangan politik di tingkat nasional. Ketegangan politik di
tingkat nasional telah memanaskan situasi di tingkat lokal. Konflik-konflik
massa pendukung Partai Komunis Indonesia dengan kalangan Islam terjadi
dibeberapa tempat di Indonesia. Apalagi Pemerintah Orde Lama kala itu ikut
menekan keberadaan kaum pengikut ADS (Agama Djawa Sunda) karena para pengikut
ADS (Agama Djawa Sunda) dianggap tidak beragama dan hanya menjalankan
ajaran-ajaran kebatinan.
Akibat dari
tekanan dari berbagai pihak yang terjadi pada masa Orde Lama, pada 19 September
1964 Tedjabuana yang sedang sakit parah menyatakan diri kepada Gereja Kristen
Katholik Paroki Cirebon dimana ia dirawat bahwa ia berniat akan memeluk Kristen
Katholik. Lalu pada 21 September 1964 Tedjabuana membuat surat resmi yang ia
tanda tangani untuk itu.
Beberapa
pengikut Aliran Kepercayaan Madrais kemudian merespon cepat surat itu dengan
menyatakan diri mengikuti Tedjabuana memeluk Agama Kristen Katholik. Akan
tetapi, banyak yang tidak percaya dan kemudian menjenguk Tedjabuana di Pastoral
Paroki Cirebon sekaligus menanyakan kebenaran berita itu[38]. Saat
dijenguk oleh para pengikut Agama
Djawa Sunda itulah, Tedjabuana mengatakan bahwa ia
teringat pesan ayahandanya yaitu Madrais seperti berikut:
“Isuk jaga ning geto anjeun bakal ngiuhan di handapeun camara bodas anu
bisa ngabeberes alam. Artinya kurang lebih suatu saat nanti kamu harus
berteduh di bawah Pohon Cemara Putih yang bisa menyelesaikan keadaan alam” [39]
Menurut Tedjabuana pesan Madrais itulah
yang menyebabkan ia memilih memeluk Agama Kristen Katholik. Akibatnya kemudian
para pengikut Agama Djawa Sunda
yang menjenguk itu spontan mengatakan akan memeluk Agama Kristen Katholik[40]. Tafsir akan bisikan gaib ini sebetulnya
berbeda-beda. Djatikusumah cucu Madrais menafsirkan kalimat itu sebagai
berteduh sementara di cemara putih. Suatu saat jika badai
telah reda, kembali keluar dari cemara putih. Sementara beberapa pengikutnya menafsirkan dengan berlindung
selamanya di cemara putih.
Tindakan
Tedjabuana ini sebetulnya telah menyelamatkan sebagian besar pengikut Agama
Djawa Sunda dari pembantaian pengikut Partai Komunis Indonesia. Di Jawa Tengah
dan Jawa Timur banyak para pengikut kebatinan yang dianggap sebagai Komunis dan
dihukum mati pada sekitar 1965-1967.
Sejak itu
sebagian besar pengikut Agama Djawa Sunda berpindah agama menjadi pemeluk Agama
Kristen Katholik. Sebagian kecilnya memeluk Agama Kristen Protestan dan Agama
Islam.
5.Kemunculan Kembali sebagai PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) dan
AKUR (Adat Karuhun Urang)
Pada 5 Maret 1978, Tedjabuana meninggal
dunia. Tedjabuana meninggal pada usia 86 tahun dan dimakamkan di dekat makam
Madrais dan makam istri Tedjabuana
bernama
Siti Saodah.
Meninggalnya Tedjabuana ayah dari Djatikusumah, membuat Djatikusumah
mengambilalih tampuk kepemimpinan para pengikut ajaran Madrais. Ketika itu Djatikusumah
rupanya telah dipandang para mantan pengikut Agama Djawa-Sunda sebagai seorang
pemimpin baru bagi organisasi mereka.
Djatikusumah
sebagai cucu dari Madrais dan secara tradisional mewarisi kepemimpinan para pengikut
di Cigugur. Ia merasa perlu untuk memimpin menggerakkan kembali bekas Agama Djawa Sunda yang pernah ada. Kekondusifan suasana pada masa awal
Orde Baru telah membuatnya terpikir kembali untuk menghidupkan Gerakan Sosial Madrais di Cigugur. Oleh karena itu, bersama dengan para mantan pengikut Agama Djawa Sunda yang masih berpikiran sama dengannya ia mulai membuat perencanaan untuk
menghidupkan kembali. Langkah pertama tentunya adalah penyelenggaraan Upacara
Adat Seren Taun[41]. Oleh karena
itu, Djatikusumah dan para mantan pengikut Gerakan Sosial
Madrais yang telah memeluk beberapa agama merencanakan untuk mengadakan upacara
adat Seren Taun sebagai upacara adat
warisan nenek moyang mereka.
Upacara adat Seren Taun adalah upacara adat yang
dijalankan setiap tahun sekali pada 22 Rayagung
tahun Saka Sunda oleh para pengikut
Aliran Kepercayaan Madrais yang tergabung dalam ADS (Agama Djawa-Sunda) sebelum
mereka membubarkan diri pada 1964. Perayaan
Seren Taun terakhir secara sederhana
diselenggarakan pada 1963.
Tepat
pada 22 September 1978 perayaan Seren
Taun dapat diselenggarakan kembali di Desa Cigugur Kabupaten Kuningan. 22
September 1978 merupakan tanggal yang bertepatan dengan 22 Rayagung tahun Saka Sunda.
Djatikusumah memimpin sendiri Perayaan Seren
Taun tersebut dari Gedung
Paseban Tri Panca Tunggal. Ribuan orang berkumpul di depan Paseban Tri
Panca Tunggal. Tidak kurang dari 5000-an orang telah kembali untuk merayakan
Perayaan Seren Taun[42]. Memang eks pengikut
Agama Djawa Sunda pun menurut Tempo tanggal 16
Desember 1978, berkisar 5000-an orang yang telah memeluk berbagai agama
seperti Kristen Katholik, Kristen Protestan maupun Islam. Jadi para eks Agama
Djawa-Sunda itulah yang kemudian menggelar dan berpartisipasi dalam Perayaan Seren Taun pada 1978 tersebut.
Menurut Engkus
Kusnadi seorang pengikut Aliran Kepercayaan Madrais yang menjadi panitia
perayaan, Djatikusumah menjadi pemimpin pada Perayaan Seren Taun karena ia merupakan pewaris almarhum Madrais. Masih
menurut Engkus Kusnadi yang dikutip majalah Tempo
adalah “Seren taun
ini merupakan upacara adat orang Sunda dan tak ada hubungannya dengan
keagamaan. Betul, ini hanya upacara adat Sunda” [43].
Begitu juga
dalam pidato pembukaan Perayaan Seren
Taun pada waktu itu, Djatikusumah sebagai ketua panitia Perayaan Seren Taun pada 1978 itu menyebutkan “Tetapi Seren Taun
bukan upacara agama, kepercayaan atau aliran
kebatinan manapun, hanya upacara syukuran”[44]. Melihat dari pernyataan-pernyataan kedua orang itu
yaitu Djatikusumah dan Engkus Kusnadi tampaklah bahwa pada masa itu mereka belum
berani untuk membuat pengakuan terbuka akan keagamaan mereka.
Kesuksesan
menggelar Perayaan Seren Taun itu
adalah sebuah tonggak munculnya kembali aktifitas pengikut Aliran Kepercayaan
Madrais pada Masa Orde Baru di Cigugur. Selain itu, kesuksesan penyelenggaraan
Upacara Adat Seren Taun itu adalah
bukti bahwa Djatikusumah masih dianggap pemimpin tradisional bagi para mantan penghayat Agama Djawa Sunda.
Pada tahun
1980 Djatikusumah mengadakan gerakan untuk memunculkan kembali organisasi para pengikut
Agama Djawa Sunda dengan mendirikan suatu organisasi bernama PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang).
PACKU diharapkan dapat menjadi suatu tempat berkumpul untuk kegiatan budaya,
adat dan kesenian warisan leluhur masyarakat Cigugur. Tidak terdapat tujuan
negatif maupun tujuan politis ketika PACKU berdiri selain untuk mempertahankan
warisan leluhur masyarakat Cigugur dalam berkebudayaan dan berkesenian. Djatikusumah
mendirikan PACKU karena menafsirkan ramalan Madrais diatas berbeda, yaitu
berteduh adalah sementara tidak selamanya. Artinya suatu saat nanti harus
keluar dari tempat berteduhnya yaitu keluar dai bawah cemara bodas atau cemara
putih[45].
PACKU
(Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang)
didaftarkan oleh Djatikusumah ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Bina Hayat pada awal Maret 1981.
Pada 31 Maret 1981 mendapatkan nomer pengesahan sebagai aliran kepercayaan oleh
Dirjen Bina Hayat dengan nomer 1.192/F.3/II.1/1981 [46].
Dengan demikian pada 31 Maret 1981 PACKU (Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang) telah
sah terdaftar sebagai aliran kepercayaan di Indonesia. Sejak itu Djatikusumah dan beberapa anggota PACKU telah
resmi kembali menjadi penghayat aliran kepercayaan.
Kemudian pada 11 Juli 1981 Djatikusumah cucu Madrais mengumumkan
berdirinya PACKU (Paguyuban Adat Cara
Karuhun Urang). Kemudian pada 17 Juli 1981 PACKU bergabung dengan Badan
Koordinasi Musyawarah Antar Pengikut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, suatu
organisasi underbow/bawahan Golkar
(Golongan Karya). Kepengurusan dalam PACKU kemudian dibentuk oleh para pengikut
aliran kepercayaan pada 23 Agustus 1981 dengan cara bermusyawarah di Gedung Tri
Panca Tunggal. Mereka yang menjadi pengurus pada organisasi PACKU ini adalah
orang-orang yang menyatakan kembali menjadi pengikut Aliran Kepercayaan Madrais
mengikuti Djatikusumah.
Akan tetapi
Pemerintah Orde Baru yang represif sepertinya belum menginginkan munculnya
kembali PACKU. PACKU mulai
mendapatkan tantangan yang sangat serius pada 25 Agustus 1982. Kejaksaan
Tinggi Jawa Barat pada tahun
1982 mengeluarkan SK no:
KEP-44/K.2.3/8/1982 Tentang Pelarangan Terhadap Aliran Kepercayaan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang
(PACKU). Menurut SK Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat itu PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) pada
hakekatnya adalah kelanjutan dari Agama Djawa Sunda atau
Madraisme yang telah dilarang sejak 1964[47].
Sejak itu maka PACKU dan seluruh kegiatannya dilarang oleh Pemerintah Jawa
Barat. Pada pertengahan September 1982 pihak PACKU telah menerima surat itu
dari seorang utusan Kejaksaan Negeri Kabupaten Kuningan.Berita
pelarangan PACKU oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat itu dimuat dalam Koran Mandala Bandung[48] . Seren Taun
upacara adat yang sedianya akan dilaksanakan di Cigugur pada tahun tersebut
dibubarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Sejak itu walaupun resmi
terdaftar sebagai aliran kepercayaan di Indonesia, para pengikut tidak dapat
melaksanakan kegiatan peribadatan mereka. Pemerintah Indonesia saat itu telah
berlaku kontroversial pada PACKU yaitu mengakui sebagai aliran kepercayaan tapi
melarang kegiatannya.
Setelah
Orde Baru runtuh pada tahun 1998, kemudian para pengikut Aliran Kepercayaan
Madrais kembali mengorganisir diri. Pada tahun 1999 mereka mendirikan AKUR (Adat Karuhun Urang) suatu komunitas adat
untuk menjalankan kegiatan-kegiatan adat budaya mereka. Kegiatan adat budaya
terbesar mereka adalah Upacara Seren Taun.
Sejak runtuhnya Orde Baru kegiatan upacara adat Seren Taun telah dapat diadakan kembali. Upacara Seren Taun kemudian menjadi obyek
pariwisata yang ditonton oleh masyarakat banyak bahkan para penontonnya datang
dari mancanegara. Pada masa sekarang Seren Taun telah menjadi kegiatan rutin tahunan yang mendatangkan devisa
bagi Kabupaten Kuningan. Dengan demikian, keberadaan para pengikut Aliran
Kepercayaan Madrais yang tergabung dalam AKUR telah menguntungkan untuk
mendatangkan pendapatan daerah bagi Kabupaten Kuningan.
[2]Berdasarkan nisan makam madrais di kampung pasir
Cigugur yang berbunyi “Sadewa Alibasa
Koesoemawidjajaningrat dilahirkeun dinten ahad manis ping 9 sasih mulud taun
1765” Artinya
Sadewa Alibasa Koesoemawidjajaningrat dilahirkan hari Minggu Manis tanggal 9 Bulan Mulud Tahun 1765. Tahun 1765 itu jika dikonversi ke tahun masehi adalah
jatuh pada tahun 1832.
[3]
Wawancara penulis dengan Djatikusumah pada 20 November 2011 di Cigugur dan pernah disebutkan oleh Ira Indrawardhana
dalam wawancara pada 13 April 2009 di Cigugur.
[4] Tentang nama Muhammad Rais ini
telah diungkapkan oleh Djatikusumah kepada KH E.Z. Muttaqien pada Januari 1983 (Tempo, 29 Januari 1983: 26)
[6]
W. Straathof melakukan penelitian tentang ajaran dan pengikut Aliran
Kepercayaan Madrais sejak 1964. Dia mewawancarai orang-orang tua yang telah
menjadi pengikut Aliran Kepercayaan Madrais saat Madrais masih hidup. Orang tua
orang tua itu yang memberinya masukan tentang kehidupan Madrais ketika masih
kecil hingga menetap di Cigugur. Diperkirakan mereka mendengar cerita itu
langsung dari Madrais sendiri. Diantara orang tua orang tua yang
diwawancarainya adalah Tedjabuana anak Madrais sendiri.
[7]Djatikusumah,
wawancara 24 Maret 2012 di Cigugur.
[10] Djatikusumah, wawancara 24 Maret 2012 di Cigugur.
[11] Djatikusumah dalam Kompas, 2 Juni 1997.
[14]ANRI,
1981: 213-215
[15]ARA,
Memorie van Overgave 1849-1962: 52.
[17]ARA, Memorie van
Overgave 1849-1962: 52-53, dan Nursananingrat, 1977: 10. Menurut Y.
Ruchiyat (1983) rumah sakit jiwa tempat Madrais dirawat letaknya di Cikeumeuh
Kabupaten Bogor.
[18]Poesponegoro
dan Notosusanto, 1990: 326-327.
[19]
ANRI, 1981: LXXXV.
[20] Djatikusumah, wawancara 30 Januari 2010 di Cigugur
[21]ANRI,
1981: 209-213.
[22]ANRI,
1981: 209-213.
[23]
ANRI, 1981: 212.
[24] ANRI, 1981: LXXXIV.
[25]
ANRI, 1981: 209-210.
[26]ANRI, 1981: 213 Salah satu yang penulis
dapatkan adalah buku ajarannya Madrais yang diterbitkan oleh N.V.A.C. NIX &
Co tahun 1925 dengan Judul yang sama.
[27]ANRI,
1981: 209
[28]ANRI,
1981: 210
[29]ANRI,1981:213.
[31] Djatikusumah, wawancara 30 Januari 2010 di Cigugur.
[32] Djatikusumah, wawancara 30 Januari 2010 di Cigugur.
[33] Tahun berdirinya Agama Djawa
Sunda tertera dalam surat yang dibuat oleh Tedjabuana tanggal 25 September 1964
perihal pernyataan pembubaran Organisasi Agama Djawa Sunda (ADS).
[34] Nursananingrat, 1977: 20
[35]Nursananingrat,
2000:5
[36] Nursananingrat, 2000: 5.
[37]Nursananingrat, 2000: 5-6.
[38] Nursananingat, 1977: 21-23 dan
Steenbrink, 2005: 293-295
[39]Nursananingrat,
1977: 24.
[40]Nursananingrat, 1977: 24
[46]
Nursananingrat, 2000: 88
[48] Koran Mandala kemudian juga memberitakan bahwa telah
terjadi pembubaran dan pelarangan 365
aliran kepercayaan di seluruh Indonesia oleh Kejaksaan sejak tahun 1962
termasuk didalamnya pelarangan Aliran Kepercayaan Madrais (Mandala, 3 Nopember 1982). Lihat juga Tempo, 25 September
1982: 60.
DAFTAR SUMBER
Arsip
Algemeen Rijksarchief. 19
Memories van
Overgave (MvO) 1849-1962. The Hague: Algemeen Rijksarchief
Indonesia, Arsip Nasional. 1976
Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat). Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah. Jakarta: ANRI.
-------. 1981.
Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad
XX. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah. Jakarta: ANRI.
Memories van Overgave (MvO) C.J.A.L.T. Hilje. 3 Juni 1930.
The Hague: Algemeen Rijksarchief.
Buku
Benda, Harry J.
1985.
Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia pada Masa Pendudukan
Jepang. Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya.
Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened (eds.). 1992.
Sejarah Nasional Indonesia IV- V. Jakarta: Balai Pustaka.
Nursananingrat,
Basuki. 1964.
Purwawisada Agama Jawa-Sunda. Bandung: Tanpa Penerbit.
-------. 1977.
Umat Katolik Cigugur; Sejarah Singkat Masuknya Ribuan
Orang Penghayat ADS menjadi Umat Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
-------. 2000.
Camara Bodas; Peristiwa Sejarah Gereja Cigugur sebuah
Kesaksian. Bandung: Tanpa Penerbit.
Straathof, W. 1970.
Agama Djawa Sunda (ADS);
Hartina Agama Djawa Sunda. Garut: tanpa penerbit.
-------. 1970.
Sadjarah Ngadegna Agama
Djawa Sunda (ADS). Garut: tanpa penerbit.
Steenbrink, Karel. 2005.
“A Catholic Sadrach: The Contsted
Conversion of Madrais Adherents in West Java Between 1960-2000” dalam Een Vakkracht in Het Koninkrijk; Kerk-En
Zendingshistorische Opstellen. Heerenveen:
Uitgeverij Groen
Artikel dalam Jurnal dan Media Massa
Karim, Mulyawan.
2009.
“Cerita Eksekusi di
Alun-Alun Bekasi”. Kompas, 23 April
2009: hlm 26
Ruchiyat, Y.1983.
“Agama Jawa Sunda”. Seri Pastoral No 95, 1983: hlm 5-30
Straathof, W.1971.
“Agama Djawa-Sunda I”. Basis, XX-7 April 1971: hlm
203-223
------- .“Agama
Djawa-Sunda II”. Basis, XX-9 Juni 1971: hlm 259-286
------- .“Agama
Djawa-Sunda III”. Basis, XX-10 Juli 1971: hlm 313-318
------- .“Agama
Djawa-Sunda IV”. Basis, XX-11 Agustus 1971: hlm 345-350
Media Massa
Kompas, 2 Juni 1997.
Kompas, 23 April 2009.
Mandala, 3 Nopember 1982.
Tempo, 16 Desember 1978.
Tempo, 25 September 1982.
Tempo, 29 Januari 1983.
Wah sy orang asli kuningan baru mengetahuinya kali ini,yg selama ini sy dengar cuma selentingan mengenai madrais adalah aliran penganut ilmu hitam, mksh atas wawasanya
BalasHapusMohon sejarah tumenggung jayadipura susukanya diulas..
BalasHapuskang saya ingin mengutip tulisan keren ini, ada data lengkap tulisan ini dimuat dimana atau desrtasi kah. saya kesulitan mengutip karena data penulisnya tidak ada. adangnof@gmail.com
BalasHapus