PANGLIMA TENTARA
PERTAMA DI INDONESIA
DIPILIH SECARA DEMOKRATIS
Pendahuluan
Banyak
orang berpandangan bahwa militer atau tentara tidak memiliki jiwa demokrasi.
Pandangan ini muncul karena dalam kemiliteran dimanapun juga di dunia ini
terdapat suatu sistem yang sudah baku yaitu sistem komando. Sistem komando ini
sering diartikan suatu komunikasi satu arah dari atasan (komandan) kepada
bawahan. Akan tetapi dalam sejarah kemiliteran di Indonesia justru terdapat hal
unik yaitu pemilihan panglima pertamanya dilakukan secara demokratis. Disaat
orang orang sipil Indonesia hingga sekarang masih sering memperdebatkan tentang
demokrasi, justru pihak militer Indonesia (dalam hal ini adalah TKR) telah memberi
contoh pemilihan yang demokratis dalam sejarah kemiliteran Indonesia.
Demokrasi sering diartikan secara umum sebagai
pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, demikian Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat) pernah menyebutkannya. Secara mudahnya demokrasi lebih sering dikaitkan dengan pemilihan umum
yang terjadi pada insitusi sipil seperti presiden pada sebuah negara atau
gubernur pada pemerintahan daerah atau kepala daerah
lainnya. Memang terasa
agak aneh jika sistem demokrasi berupa pemilihan langsung muncul dalam
institusi kemiliteran yang memiliki budaya sistem komando. Mungkin hal ini
hanya terjadi di Indonesia dan mungkin juga hanya satu satunya didunia.
Pembentukan Tentara Pada Awal
Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945, tidak secara langsung Pemerintahan Indonesia membentuk tentara
Indonesia. Pada 22 Agustus 1945 PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) lebih memilih membentuk suatu badan
Penolong Keluarga Korban Perang. Badan tersebut lebih terkenal dengan sebutan
BKR (Badan Keamanan Rakyat). Sebetulnya pada rapatnya tanggal 19 Agustus 1945
dalam rapatnya sempat memutuskan untuk segera membentuk suatu tentara
kebangsaan (Tjahaja, 21 Agustus
1945). Akan tetapi kemudian keputusan itu diubah pada rapat tanggal 22 Agustus
1945. Pada saat itu dalam rapat berkembang
suatu pendapat bahwa jika dibentuk tentara kebangsaan maka akan
mengundang serangan dari sekutu maupun Jepang yang telah sepakat untuk
mempertahankan status quo. Saat itu para anggota PPKI berpendapat bahwa
kekuatan tentara kebangsaan yang akan dibentuk belum cukup untuk menghadapi
gempuran sekutu maupun Jepang. Maka pilihan utamanya adalah melakukan diplomasi
untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia saat itu. Pada rapat tanggal
22 Agustus 1945 tersebut PPKI memutuskan untuk membentuk KNI (Komite Nasional
Indonesia), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang telah
disepakati untuk dibentuk (Tjahaja,
23 Agustus 1945). Dalam pidato pengumuman ketiga badan tersebut tanggal 23
Agustus 1945 Presiden Soekarno mengatakan kepada mantan PETA dan Heiho dan pemuda pemuda kelaskaran lainnya untuk
bergabung dalam BKR dan siap siap dipanggil untuk menjadi prajurit tentara
kebangsaan jika datang saatnya nanti (Soeara
Asia, 24 Agustus 1945)
BKR atau Badan Keamanan Rakyat tersebut kemudian menjadi
suatu wadah berkumpulnya para mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air, didirikan
tanggal 3 Oktober 1943), Heiho yang telah dibubarkan oleh Jepang pada tanggal
19-20 Agustus 1945 (Nasution, 1970: 115) sehubungan dengan menyerahnya Jepang
pada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. BKR kemudian berdiri di daerah-daerah
karena gerakan spontan dari para mantan PETA dan Heiho yang ada didaerah dalam
merespon pidato Soekarno tersebut dan menjadi badan-badan revolusi di
daerah-daerah (Nasution, 1970: 115).
Pada 5 Oktober 1945 BKR diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan
Rakyat). Presiden Soekarno membentuk tentara untuk tujuan memperkuat perasaan
keamanan umum (Fattah,2005: 46). Selain itu pembentukan tentara dengan nama
keamanan rakyat ini dimaksudkan dapat menjadi sebuah pertanda bagi Sekutu
maupun Jepang bahwa tentara yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia ini
bukannya untuk menghadapi musuh yang datang atau menghadapi Sekutu maupun
Jepang tetapi adalah lebih untuk masalah dalam negeri yaitu untuk keamanan
rakyat belaka.
Pada tanggal 6 Oktober 1945 telah dikeluarkan surat resmi
berjudul Maklumat Pemerintah yang isinya mengangkat Soeprijadi seorang anggota
PETA yang memimpin pemberontakan di Blitar sebagai Menteri Keamanan Rakyat yang
berarti sekaligus sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat. Menurut Nasution
(Nasution 1970) karena Soeprijadi tidak pernah muncul
atau datang ke Jakarta, maka pada tanggal 14 Oktober 1945 untuk melengkapi
jabatan dalam Kementrian Keamanan Rakyat diangkatlah sebagai berikut:
Menteri ad interim :
Moehamad Soeljoadikoesoemo
Pemimpin Tertinggi :
Soeprijadi
Kepala Staf Umum : Mayor Oerip Soemohardjo
Untuk menjalankan fungsi Menteri Keamanan yang kosong karena
ketidakhadiran Soeprijadi diangkatlah Moehamad Soeljoadikoesoemo mantan
daidanco (Nasution 1970:208-239)
Kemudian Wakil Presiden Moehamad Hatta memanggil Oerip
Soemohardjo seorang pensiunan mayor KNIL
(Koninklijke Nederlandsche Indische Leger)
yang pensiun tahun 1938 untuk datang ke Jakarta. Kemudian Oerip Soemohardjo
diangkat oleh Moehamad Hatta menjadi Kepala Staf Umum Tentara dengan pangkat
letnan jendral (Notosusanto, 1991: 41) dan ditugaskan untuk membentuk tentara
Indonesia (Nasution, 1970: 125). Mengapa Oerip yang dipanggil dan diberi tugas
? Nama Oerip Soemohardjo mencuat karena dia pernah membuat pernyataan “Aneh
Negara zonder tentara” (Notosusanto, 1991: 40) pernyataan yang menyindir
pemerintah tersebut malah membuat ia diperhatikan pemerintah. Apalagi Mohamad
Hatta (Wakil Presiden) dan Soetan Sjahrir (yang nantinya diangkat sebagai Perdana
Mentri atas saran Mohamad Hatta) adalah mahasiswa-mahasiswa lulusan Belanda
yang sangat mengerti tentang mutu orang-orang lulusan Belanda. Sedangkan Oerip
Soemohardjo adalah seorang pensiunan perwira KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische
Leger) dengan pangkat mayor yang lulusan Breda sekolah kemiliteran di
Belanda. Mereka berdua yaitu Hatta dan Sjahrir, sangat percaya pada perwira
lulusan Breda di Belanda daripada mantan-mantan PETA (Pembela Tanah Air) atau
Heiho yang tidak mengalami pendidikan kemiliteran secanggih pendidikan di Breda
Belanda. Selain itu, Hatta juga dapat
masukan dari Didi Kartasasmita tentang siapa sebenarnya Oerip Soemohardjo ini
(lihat Oerip Soemohardjo Letnan Jenderal TNI karya Rohmah Soemohardjo-Soebroto).
Akan tetapi Soeprijadi sejak ditetapkan sebagai panglima
tentara tidak pernah muncul atau datang ke Jakarta. Akibatnya hal ini
menimbulkan keresahan bagi para anggota TKR terutama yang berada di daerah
daerah.
Selanjutnya sambil menunggu kehadiran Soeprijadi, untuk
melengkapi ketentaraan di Indonesia Kementrian keamanan Rakyat atas kerjasama
Oerip Soemohardjo dan Moehamad Soeljoadikoesoemo membentuk empat komandemen
yaitu di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepada mereka
panglima masing masing komandemen diberikan komando taktis baik atas kesatuan
kesatuan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang regular maupun atas sekian
banyaknya badan perjuangan yakni nama baru yang diberikan kepada berbagai
organisasi kelasykaran. Kemudian batalyon-batalyon TKR dikelompokkan menjadi
resimen dan divisi. Enam divisi terbentuk di Sumatra, tiga di Jawa Barat, empat
di Jawa Tengah dan tiga di Jawa Timur (Sundhaussen, 1988: 14).
Dalam pembentukan komandemen, dilapangan Oerip Soemohardjo
dibantu oleh pemuda bekas perwira KNIL yaitu Soerjadharma dan TB Simatoepang.
Kemudian mereka memilih Yogyakarta sebagai kota dimana kedudukan Markas
Tertinggi TKR (MT TKR) berada. Pada awalnya markas itu terletak di gedung yang
sekarang menjadi Hotel Garuda di Yogyakarta lalu dipindahkan ke bangunan rumah
yang sekarang menjadi Museum TNI AD Yogyakarta.
Pada awalnya Oerip Soemohardjo ini hanya akan membentuk
empat divisi saja yaitu tiga di Jawa dan satu di Sumatra, akan tetapi karena
pemuda yang mendaftar sebagai anggota TKR membludak melebihi yang direncanakan
maka terjadilah pembentukan yang lebih banyak. Di Sumatra anggota TKR banyak
berasal dari Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) dan Pemuda Indonesia (PI)
sedangkan di Jawa banyak berasal dari PETA dan Heiho yang bergabung dalam BKR
kemudian menjadi TKR (Soeara Merdeka, 10 November 1945).
Kemudian ditetapkanlah para panglima komandemen tersebut
oleh Oerip Soemohardjo dan Moehamad Soeljoadikoesoemo. Para panglima komandemen
diatas adalah sebagai berikut: Komandemen I Jawa barat dipimpin oleh Jenderal
Mayor Didi Kartasasmita. Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Jenderal Mayor
Soeratman sedangkan Komandemen III Jawa Timur dipimpin oleh Jenderal Mayor
Moehamad. Di Sumatra Komandemen dipimpin oleh Jenderal Mayor Soehardjo
Hardjowardojo (Nasution, 1970: 208).
Rapat Tentara di Yogyakarta
Pada
saat berbarengan dengan pembentukan divisi-divisi dan komandemen-komandemen
didaerah-daerah, pasukan sekutu telah mengadakan perlucutan senjata pada
beberapa daerah yang didudukinya. Oleh karena itu para perwira TKR mendesak
pemerintah untuk sesegera mungkin mengisi jabatan Panglima Tentara dan Menteri
Keamanan. Pada awalnya pemerintah tidak menanggapi desakan para perwira TKR
tersebut, tetapi karena Oerip Soemohardjo sudah diberi mandat untuk membentuk
tentara maka dia atas seizin pemerintah pusat berinisiatif untuk memanggil
semua panglima divisi dan resimen TKR untuk sebuah rapat besar atau konferensi pada
tanggal 12 November 1945 di Yogyakarta setelah Jakarta diduduki oleh tentara
Sekutu (Tjokropranolo 1992:64).
Tepat pada
tanggal 12 November 1945 diadakanlah rapat tentara di Gondokusuman Yogyakarta.
Semua divisi diundang untuk datang ke rapat tentara di Yogyakarta tersebut.
Konferensi tersebut dihadiri hampir semua komandan Divisi dan Resimen TKR. Juga
hadir dalam rapat konferensi itu adalah Sri Sultan Hamengkoeboewono IX, Soenan
Pakoeboewono XII dan Mangkoenegoro X. Utusan dari Sumatra yang hadir hanya
seorang yaitu Kolonel Moehamad Noeh (Tjokropranolo, 1992: 63).
Sebetulnya
dalam rapat tersebut Oerip Soemohardjo berharap mendapat mandat dari
divisi-divisi yang hadir untuk menjadi panglima tertinggi TKR. Apalagi Mohamad
Hatta sudah tampak mendukungnya. Ketika itu rapat dihadiri oleh para perwira
senior dalam markas tertinggi TKR (MT TKR), panglima-panglima divisi dan
komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa. Dari Pulau Sumatra tidak ada yang
hadir karena sulitnya komunikasi dan jalan perhubungan dimasa awal kemerdekaan tersebut.
Hanya seorang wakil dari Sumatra yaitu Moehamad Noeh. Begitu pula dari Surabaya
tidak ada yang hadir karena ketika itu Surabaya telah dilanda peperangan (10
November 1945) dengan Inggris (Notosusanto, 1991: 43).
Pada awalnya
setelah dibuka oleh Oerip Soemohardjo, rapat ini membicarakan tentang bagaimana
membangun tentara yang kuat guna menghadapi serangan musuh. Kemudian
keadaan-keadaan didaerah masing-masing dilaporkan oleh panglima divisi atau
komandan resimen yang datang dalam rangka membangun tentara yang kuat dalam
guna menghadapi serangan musuh tersebut (Tjokropranolo 1992:63.
Lalu setelah
itu mereka mulai membicarakan tentang perlunya pucuk pimpinan yang dapat
memberikan arahan, instruksi maupun komando yang jelas bagi mereka. Kemudian diadakanlah
pemilihan pimpinan tertinggi TKR. Suasana rapat semakin seru, hangat dan riuh
ramai ketika dimulai pencalonan nama nama yang akan dijadikan calon panglima
karena yang hadir belum siap untuk mengajukan nama calon masing masing.
Akibatnya Soedirman meminta rapat diskors sebentar (Tjokropranolo
1992:64). Saat itu sebetulnya telah
mencuat dua nama yang ramai dibicarakan untuk mengganti Soeprijadi. Yaitu Oerip
Soemohardjo sendiri yang ketika itu mendapatkan mandat sebagai kepala Staf Umum
dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Lalu satu lagi yaitu Soedirman Panglima
Divisi V Banyumas. Munculnya nama Soedirman adalah dari kalangan mantan PETA
yang hadir dalam rapat tersebut[1].
Sepertinya para mantan KNIL masih berharap Oerip yang dapat memenangkan
pemilihan tersebut karena bagaimanapun juga Oerip adalah tokoh senior yang
dianggap mumpuni dan cakap dalam organisasi kemiliteran. Apalagi dia seorang
lulusan Sekolah Militer Breda di Belanda. Akan tetapi sepertinya tidak demikian
yang terdapat dalam pemikiran kalangan mantan PETA yang hadir dalam rapat saat
itu. Rupanya mereka masih punya kecurigaan pada perwira-perwira mantan KNIL
karena mereka dianggap sebagai perwira didikan Belanda. Oleh karena itu, mereka
masih berharap bahwa pengganti Soeprijadi adalah juga mantan PETA.
Kemudian
setelah waktu skorsing dicabut dimulailah lagi rapat tersebut. Dipilihlah salah
seorang pimpinan sidang yang secara aklamasi terpilih adalah perwira Kolonel Holland
Iskandar. Holland Iskandar memimpin secara terbuka rapat tersebut dengan
meminta pengajuan para calon panglima oleh hadirin dan langsung dituliskan di
papan tulis. Diantaranya yang terpilih dituliskan di papan tulis adalah:
1. Hamengkoeboewono
IX
2. Widjoyo
Soerjokoesoemo
3. GPH
Poerbonegoro
4. Oerip
Soemohardjo
5. Soedirman
6. Soerjadharma
7. M. Pardi
8. Nazir
Pemilihan berlangsung hanya dengan
mengacungkan tangan ketika nama calon disebutkan oleh Holland Iskandar
(Tjokropranolo 1992: 64).
Pemilihan
berlangsung tiga putaran. Pada putaran pertama dua calon gugur. Pada putaran
kedua dua calon gugur lagi. Pada putaran ketiga tersisa empat nama diantaranya
Soedirman, Oerip Soemohardjo, Hamengkoeboewono IX dan Soerjadharma. Lalu terpilihlah
Soedirman dengan selisih suara yang tidak terlalu banyak dengan Oerip
Soemohardjo[2] (Pernyataan
Djatikoesoemo dalam Tjokropranolo 1992: 64). Oerip Soemohardjo kemudian tetap
diminta menjabat sebagai Kepala Staf Umum, dan secara aklamasi ditetapkanlah
Hamengkoeboewono IX sebagai Menteri Keamanan.
Setelah
diadakan pemilihan dalam rapat maka terpilih sebagai Panglima Tentara adalah
Soedirman yang ketika itu masih berusia 29 tahun. Dikalangan perwira-perwira
Jawa yang hadir kala itu, Soedirman dipandang memiliki daya tarik dankharisma
yang besar. Ketika zaman Pendudukan Jepang dia pernah duduk sebagai anggota
Dewan Daerah “Syu Sangi Kai” Purwokerto Jawa Tengah. Dan namanya terkenal
setelah berhasil merebut senjata dari gudang tentara Jepang dan memukul mundur
satuan tentara Inggris dalam peristiwa Palagan Ambarawa (Salam 1963: 21-26).
Kemenangan
Soedirman dapat dianalisis sebagai berikut: Pertama perlu diketahui bahwa yang
banyak hadir rapat dan ikut memilih dalam rapat itu adalah para mantan PETA.
Ada beberapa mantan PETA yang sebetulnya pernah mengenyam kemiliteran KNIL.
Mereka ini pernah menjadi anggota KNIL dan saat Jepang menduduki Indonesia
mereka beralih menjadi anggota PETA dan ketika Indonesia merdeka memilih masuk
BKR. Diantara mereka adalah Djatikoesoemo, Soeharto, Gatot Soebroto dan Ibrahim
Adjie. Sedangkan jumlah terbanyak adalah mantan PETA yang masuk BKR yang
terkemuka dari golongan ini adalah Soedirman. Mantan KNIL jumlahnya lebih
sedikit. Mereka dapat dibagi dua yaitu yang pertama adalah yang sempat
mengenyam pendidikan di Breda (jumlahnya paling sedikit) diantara mereka adalah
Didi Kartasasmita, Soerio Soelarso, Soerjadharma dan Oerip Soemohardjo yang
paling senior diantara mereka. Lalu yang kedua adalah mereka yang hanya dididik
dalam sekolah militer KNIL di Cimahi yaitu TB Simatupang, AH. Nasution dan Alex
Kawilarang (Sundhaussen, 1988: 20-23).
Kedua
kebanyakan dari mereka adalah orang dari suku-suku dari Pulau Jawa. Suku Jawa
termasuk yang dapat digolongkan dalam ini adalah perwira-perwira Cirebon
didalamnya dan sedikit perwira dari suku Sunda. Para perwira dari luar Pulau
Jawa jumlahnya sangat sedikit mereka diantaranya adalah AH Nasution dan TB
Simatupang. Sedangkan sebagian besarnya adalah para perwira dari suku Jawa dan
Sunda seperti Oerip Soemohardjo, Soedirman, Gatot Soebroto, Didi Kartasasmita,
Ibrahim Adjie, Hidajat Padmadisastra (Sundhaussen, 1988: 20-23).
Analisis
ketiga, diantara mereka sebagian besarnya adalah muslim dan sedikit para
perwira abangan atau priyayi Jawa. Di Jawa terdapat subkultur Santri dan
Abangan (untuk hal ini baca The Religion
of Java dari Cliffort Geertz) Dan lebih sedikit lagi adalah perwira
Protestan seperti Simatupang dan Kawilarang (Sundhaussen, 1988: 20-23). Melihat
komposisi yang hadir kala itu akan sulit bagi Oerip Soemohardjo yang mantan
KNIL dan seorang Jawa abangan dapat memenangkan pemilihan pada rapat tentara
itu.
Selain Panglima
tertinggi TKR, ketika itu dipilih pula tokoh yang akan menjadi menteri keamanan
rakyat. Menteri Keamanan terpilih ketika itu adalah Sri Soeltan
Hamengkoeboewono IX untuk menggantikan Moehamad Suljoadikoesoemo. Dalam
terpilihnya Sri Soeltan tidak terlalu banyak masalah. Tampak lebih mudah karena
tidak ada nama lain yang diajukan selain nama Sri Soeltan.
Pemilihan
panglima tertinggi TKR tersebut mencerminkan paham demokratis yang ada
dikalangan militer saat itu. Disaat sebagian besar orang Indonesia kala itu
belum berpikiran demokratis, tentara sudah menerapkan demokrasi dalam pemilihan
panglima tertingginya. Menurut Nugroho Notosusanto (1991: 43) tidak mungkin
dalam suatu tentara profesional ala barat dilakukan pemilihan seorang panglima
besar oleh pihak tentara itu sendiri. Sedangkan menurut Tjokropranolo (1992)
pemilihan ini berlangsung secara demokratis dan penuh perasaan kesetiakawanan. Oerip
Soemohardjo-lah tokoh dibalik munculnya paham demokratis tersebut karena dari
dialah ide pemilihan secara demokratis ini diadakan.
Walaupun
akhirnya Oerip Soemohardjo dapat menerima hasil rapat tentara itu, pada awalnya
Oerip Soemohardjo sempat agak kecewa dengan hasil itu. Mohamad Hatta pun
berkeberatan untuk mengakui hasil rapat tentara di Yogyakarta tersebut karena
Hatta telah berharap banyak pada Oerip Soemohardjo karena latar belakang
pendidikan militernya dari Breda Belanda tersebut. Disaat Hatta dan Oerip dalam
kebimbangan, Soekarno mengambil keputusan untuk mengakui hasil rapat tentara
Yogyakarta tersebut. Kurang lebih sebulan Soekarno menyakinkan Hatta dan Oerip
dengan berdiskusi dan akhirnya memutuskan untuk mengakui hasil rapat tentara di
Yogyakarta tersebut (Notosusanto, 1991: 43). Jika rapat tentara di Yogyakarta
tersebut tidak diakui maka kemungkinan besar tentara tidak akan setia pada
Pemerintahan Indonesia dibawah Soekarno Hatta. Pemerintahan Republik Indonesia
dibawah Soekarno-Hatta pasti akan mendapatkan dua musuh sekaligus. Pertama
tentara Sekutu dan NICA telah datang untuk mengambil alih Indonesia
kembali. Kedua tentara yang akan
berjuang sendiri tanpa ketaatan pada Pemerintah RI dibawah Soekarno-Hatta.
Soekarno yang telah lama menggandrungi persatuan dan kesatuan lebih memilih
mengakui hasil rapat tentara di Yogyakarta itu.
Terpilihnya
Soedirman dan Soeltan Hamengkoeboeono IX kala itu sepertinya lebih mencerminkan
subkultur dalam masyarakat Jawa. Soedirman yang berlatar belakang Santri
Moehamadiyah dan Soeltan Hamengkoeboeono IX yang berlatar belakang Priyayi
Abangan. Clifford Geertz pernah mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam tiga
subkultur yaitu Santri, Abangan dan Priyayi. (lihat Clifford Geertz Religion of
Jawa, 1981).
Pada tanggal 18 Desember
1945 akhirnya setelah kurang lebih sebulan kemudian dari rapat tentara di
Yogyakarta, Kolonel Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan
pangkat Jenderal. Sedangkan Oerip Soemohardjo dilantik kembali sebagai Kepala
Staf dengan pangkat Letnan Jenderal (Notosusanto 1991: 43 dan Tentara Keamanan Rakyat no 1 tahun 1, 10
Januari 1946).
Pada akhir tahun 1945
timbul konsep keselamatan untuk merubah konsep keamanan dengan harapan dengan
konsep keselamatan tersebut bahwa tentara akan lebih memperluas dan memperdalam
tugas ketentaraannya (Nasution, 1970: 258). Pemerintah mengabulkan dan lalu
menerbitkan surat penetapan pada tanggal 1 Januari 1946. Sejak itu nama tentara
adalah TKR (Tentara Keselamatan Rakyat). Begitu juga nama Kementerian Keamanan
digantikan menjadi Kementerian Pertahanan (Nasution,1970: 258-259).
Penutup
Dalam rapat tentara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, telah
terbukti bahwa sistem demokrasi yaitu pemilihan langsung telah digunakan untuk
memilih pimpinan tertinggi tentara Indonesia saat itu. Saat para pimpinan sipil
belum terpikirkan akan hal itu, Oerip Soemohardjo telah menerapkannnya dalam
pemilihan Panglima Tertinggi tentara Indonesia. Suatu hal yang unik tapi nyata
dalam sejarah kemiliteran Indonesia.
Melihat berkembangnya sistem demokrasi sedemikian rupa
seperti yang terjadi di Indonesia sekarang, ternyata pihak militer di Indonesia
telah mempraktekkannya dalam pemilihan panglima pertamanya. Oleh karena itu
sangat tepat jika TNI sekarang mendukung sistem demokrasi di Indonesia karena
telah dicontohkan oleh bapak-bapak founding-father
pendiri TNI itu sendiri.
DAFTAR SUMBER
Buku
Fattah, Abdoel. 2005. Demiliterisasi Tentara; Pasang Surut Politik
Militer 1945- 2004. Yogyakarta: LKiS.
Geertz, Clifford. 1981. The Religion of Java; Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Nasution, A.H.1970. TNI Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Seruling Masa.
Notosusanto, Nugroho (editor). 1991. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Sinar
Harapan.
Salam, Solihin. 1963. Jenderal Sudirman
Pahlawan Kemerdekaan. Jakarta: Jaya Murni
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967; Menuju
Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.
Soebroto, Rohmah Soemohardjo. 1973. Oerip Soemohardjo Letnan Jenderal TNI; 22
Februari 1893-17 November 1948. Jakarta: Gunung Agung.
Tjokropranolo. 1992. Panglima Besar TNI
Jenderal Soedirman; Pemimpin Pedobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah
Seorang Pengawal.. Jakarta: PT Surya Persindo.
Majalah
Kementrian Pertahanan. Tentara
Keamanan Rakyat. 1946. Yogyakarta.
Surat
Kabar
Soeara Asia, 24 Agustus 1945
Soeara Merdeka, 10 November 1945
Tjahaja, 21 Agustus 1945
Tjahaja, 23 Agustus 1945
[2]
“Pernyataan ini diperoleh dari pak
Djatikoesoemo yang disampaikan pada peringatan wafatnya pak Dirman pada tanggal
9-2-1991 yang diadakan oleh Yayasan PETA di Gedung Pola Jakarta mengenai
riwayat dipilihnya pak Dirman (Tjokropranolo 1992: 64)